Bulan: Mei 2020

Alegori dan Tanda Ilahiah St. Agustinus

Perlu disadari, rekonsiliasi ini membuktikan bahwa Abad Pertengahan tidak sepenuhnya tenggelam dalam nada-nada religius (meski tidak dimungkiri itulah yang jadi ciri dominannya). Konsep alegori St. Agustinus memberikan ruang pada akal (reason) untuk dapat “mencampuri” urusan-urusan spiritual yang biasanya diasumsikan berada di luar kemampuan nalar akal manusia. St. Agustinus dengan jelas menyatakan bahwa akal bukan diberikan pada manusia tanpa tujuan. Justru berfaedah untuk membantu memahami suatu perwujudan dan mengaitkannya dengan the divine beauty. Di sanalah manfaat dan fungsi akal yang paling mujarab.

Baca lebih lajut

Nilai Kritik Sastra Kuno

Melalui Kritik Sastra Kuno (dari Plato [429-347 SM] hingga ‘Servius’ [abad ke-4 Masehi] atau bahkan Santo Agustinus [354-430 M], kita diajak untuk memahami lagi sebuah karya sastra sebagai ekspresi literer dari seorang pengarang yang bergulat dengan tradisi sastra yang ada maupun lingkungan sosialnya. Atau, dengan kata lain, sebuah karya sastra tetaplah sebuah karya individual meski ia merupakan produk budaya seperti juga produk-produk seni lainnya.

Baca lebih lajut

Pada Awalnya Adalah Alegori

Terdapat dua langkah untuk menjangkau beauty. Pertama, mendalami teks (karya). Kita harus memahami apa yang kita hadapi. Kedua, dari apa yang kita dapati dari karya tersebut kita kemudian masuk ke dalam diri dan menyatukan diri dengan karya tersebut; mengubah diri dari seer jadi seen. Dengan begitu, baru kita dapat mendapatkan penglihatan (vision). Lebih jauh, sedikit kembali ke atas, melihat-ke-dalam-diri ini saya pikir terkait erat dengan konsep emanasi dan arketip milik Plotinus sendiri. Manusia dapat melihat yang-divine di dirinya karena memang ia diciptakan dengan sebagian dari yang-divine.

Baca lebih lajut