Di tepi pantai, Santo Agustinus yang tengah memikirkan tentang Tuhan Allah, memperhatikan seorang anak yang berjalan bolak-balik dari air laut menuju ke sebuah lubang di pasir. Anak itu menangkupkan kedua telapak tangannya seperti mangkuk untuk mengambil air dari laut dan membawanya ke lubang pasir yang sudah dibuatnya. Air yang diciduk sedikit demi sedikit terus merembes keluar dari telapak tangan anak itu selama ia berjalan, dan ketika tiba di hadapan lubang, air yang tersisa hanya tinggal beberapa tetes. Melihat hal yang aneh dan sia-sia itu, Santo Agustinus menghampiri si bocah lalu bertanya, “Apa yang sedang kau lakukan?” Anak kecil itu menjawab, “Memindahkan air laut ke dalam lubang pasir ini.” Lalu Santo Agustinus berkomentar, “Percuma kau lakukan itu. Lautan yang begini luas tidak mungkin bisa kau pindahkan ke dalam lubang pasir kecil seperti itu.” Si bocah ternyata dengan enteng menjawab, “Demikian pula perbuatan Tuan sia-sia. Tuhan Allah yang se”besar” itu tidak mungkin muat Tuan masukkan di otak Tuan yang kecil itu.”
Penggalan kisah di atas adalah sebuah reka ulang. Saya lupa persisnya kapan dan di mana saya mendengar cerita itu untuk pertama kalinya. Namun, yang jelas cerita itu adalah salah satu kisah yang identik melekat pada sosok Santo Agustinus di benak saya. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita itu, St. Agustinus – sebagai salah seorang dari jajaran orang kudus Allah yang diakui dalam agama Katolik itu – sungguh punya kontribusi besar di dalam maupun di luar gereja selama perjalanan hidupnya. Di tulisan ini fokus saya bukanlah pada riwayat aktivitas Gerejawinya, melainkan pada pengaruh pemikirannya di luar dinding-dinding gereja alias pemikiran sekuler. Pengaruhnya ini nyatanya bukan hanya menembus dinding gereja namun juga menembus ruang dan waktu. Tak lain karena pemikirannya tidak hanya berhenti di masa hidupnya – yang sering disebut sebagai Masa Kegelapan (Abad pertengahan) – namun melaju terus hingga masa modern. Pengaruhnya itu pun merambah ke banyak bidang – filsafat, linguistik, sastra.
Abad Pertengahan dan Kegelapannya
Sebagai pemanasan, saya akan mulai pembahasan dari lingkungan masa hidup St. Agustinus: Abad Pertengahan. Abad Pertengahan (Medieval Time) sempat dikenali hampir secara fatalis sebagai periode yang identik dengan kegelapan, sikap anti terhadap ilmu pengetahuan, takhayul, dan kekuasaan mutlak institusi keagamaan. Oleh karena itu, masa ini sering disebut juga sebagai Dark Age (Abad Kegelapan). Wacana tersebut ada benarnya tapi juga tak sepenuhnya benar. Jadi, mari kita lihat satu per satu.
Secara umum, wacana dominan yang negatif tentang kehidupan di masa tersebut bisa dimengerti apalagi jika kita melihat tatanan sosio-politik dan religio-kultural Eropa yang hidup di masa itu. Perkembangan tradisi Kristen yang meroket dan kekuasaan absolut gereja adalah sumber label gelap di atas. Setelah jatuhnya kekaisaran Romawi, hanya Gereja yang berhasil bertahan. Institusi ini menjadi satu-satunya sarana untuk mempertahankan warisan-warisan klasik, tradisi, dan aturan-aturan lain yang sudah sempat ada di Eropa sebelumnya. Gereja lantas menasbihkan Carolus Magnus (Charlemagne) sebagai raja untuk wilayah bekas Romawi pada 25 Desember 800 Masehi. Penasbihan tersebut dilakukan oleh Paus Leo yang saat itu menjabat sebagai pemimpin tertinggi Gereja. Ini menandai kelahiran Holy Roman Empire yang jelas berbeda dari Kekaisaran Romawi yang sebelumnya pagan. Dengan begitu, Gereja memiliki dua fungsi, yakni sebagai institusi politik yang memiliki otoritas dan sebagai institusi religius Katolik. Di sisi politik, pengangkatan Charlemagne membuat fungsi politik Gereja menguat. Wilayah Kerajaan Romawi kembali dipersatukan di bawah otoritas Charlemagne secara politis dan di bawah Paus secara religius. Tak pelak, Kristen (Katolik) jadi agama negara. Sayangnya, dengan otoritas mutlaknya yang begitu besar, Gereja malah menjadi institusi yang bobrok lantaran melakukan kesewenang-wenangan terhadap rakyatnya (misalnya menjual indulgensi—surat pengampunan dosa) dan penyingkiran orang-orang yang kritis terhadap kekuasaannya. Kekacauan inilah yang kemudian menuntun orang untuk menamai periode Abad Pertengahan ini sebagai “Dark Age”.
Wacana negatif itu tidak sepenuhnya benar karena nyatanya pada masa itu bukan hanya Gereja yang memainkan peran membentuk Abad Pertengahan. Faktor lain yang turut menentukan di antaranya dominasi pola sosial dan politik Jerman, sisa-sisa sistem administrasi dan hukum Romawi, warisan pemikiran dari dunia klasik yang masih kuat, serta mulai adanya kontak dengan peradaban Islam—yang pada sisi keilmuan sedang jaya-jayanya (dimulai dari abad ke-9). Semuanya itu membuat Gereja sebenarnya ada dalam posisi yang rumit dan bukan semata-mata pihak yang berkuasa. Pada kenyataannya, apa yang dilakukan Gereja saat itu bukan semata-mata mempertahankan, melainkan mencoba mengasimilasikan dan mengadaptasikan warisan klasik untuk dihidupi oleh masyarakat luas. Kompleksitas latar zaman ini memang rumit, akan tetapi justru hal inilah yang menjadi pijakan munculnya pemikir dan pemikiran yang kuat nan esensial pengaruhnya, seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dan Averroes (Ibn Rushd).
Abad Pertengahan: Tarik-Menarik antara Kristianitas dan Klasik
Secara umum, pada awal abad pertengahan ada dua arus dominan yang memengaruhi intelektualitas dan teologi, yakni (1) warisan pemikiran klasik dan (2) teologi Kristen yang sedang menempati posisi puncak. Pemikiran-pemikiran yang muncul di masa itu adalah hasil dari pertemuan kedua arus itu. Keduanya juga menjadi fokus utama perdebatan intelektual dan perkembangan pemikiran selama periode tersebut.
Masa awal pasca-Kekaisaran Romawi Pagan masih bergelut dengan ketidakstabilan sosial-politik, kemiskinan, dan buta huruf yang menjadi fenomena di Eropa. Segala persoalan ini mengarahkan manusia yang hidup dalam zaman itu untuk melihat dunia sebagai suatu hal yang fana saja. Karena kuatnya penekanan agama, orientasi kehidupan manusia lantas bergeser menjadi lebih religius. Di sini ada semacam kecenderungan filsafat Stoik dengan bumbu agama: isu-isu pemisahan diri dari hal-hal duniawi amat laku. Manusia disetir untuk lebih mengutamakan kehidupan setelah dunia fana ini.
Terkait dengan pertemuan warisan Klasik (termasuk sastra di dalamnya) dan Kristianitas, seperti dicatat Habib, ada dua pendekatan yang digunakan Gereja:
- Memisahkan Kristianitas dari Paganisme—Paganisme dilihat sebagai asal-usul seni dalam budaya Yunani dan Romawi.
- Melanjutkan bentuk retorika dan filsafat klasik Kristen.
Dengan kondisi agama dan ke-baka-an dijunjung tinggi, pendekatan pertamalah yang digunakan Gereja. Lantas bagaimana nasib sastra dan warisan Klasik lainnya? Pada masa tersebut, seperti halnya di banyak masa sebelum dan setelahnya, kondisi sosial masyarakat menjadi salah satu topik yang banyak diangkat oleh karya-karya sastra. Selain itu, iklim dalam kesastraan masa itu juga banyak bersinggungan lagi dengan karya-karya klasik. Di sinilah muncul permasalahannya. Pada masa itu, Gereja—yang diwakili oleh para pemikirnya—cenderung amat Platonis. Mereka memandang sastra sebagai produk rendahan manusia. Di sana terlihat paradoks. Di satu sisi Gereja ingin mengambil jarak dari tradisi Pagan—semua yang ada Pra-Kristen, akan tetapi, di sisi lain, Gereja juga sangat terpengaruh oleh pemikir seperti Plato yang adalah seorang Pagan.
Beruntungnya, gelombang pemikir Kristen selanjutnya berupaya menyelesaikan persinggungan yang aneh dan dilematis itu. Mereka mencoba lebih rasional dengan berusaha merekonsiliasi pemikiran Yunani kuno dengan ajaran Kristen. Di sinilah pendekatan kedua digagas karena para pemikir Kristen baru ini fokus pada pembaruan retorika Kristen yang terkait dengan tata cara baca kitab. Hasilnya, kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru mulai “dipertemukan” dengan filsafat Yunani. Jika dibayangkan, ikhtiar semacam ini tidak pula asing. “Rekonsiliasi” semacam ini juga pernah dihadirkan dalam dinamika hubungan antara pemikiran Homer dan Plato, juga dalam hubungan antara filsafat dan sastra. Sebagian bentuk karya sastra mulai dapat diterima Gereja, misalnya puisi dan catatan-catatan sejarah. Akan tetapi, seni visual dan drama masih dianggap sebagai penyembahan berhala! St. Agustinus bahkan pernah menyebutnya sebagai “spectacles of uncleanness”—tontonan kotor—yang omongannya hanya sekadar “smoke and wind”—asap dan angin lalu[1]. Upaya rekonsiliasi ini kemudian membuahkan warisan yang sangat identik dengan Abad Pertengahan dan pembacaan kitab suci: alegori.[2]
Pemikir yang bertanggung jawab atas menguatnya warisan klasik (Neo-Platonis) dalam tradisi pemikiran itu adalah St. Agustinus.
Fana adalah Jalan Menuju Baka
Agustinus dilahirkan pada tanggal 13 November 354 di Tagaste, sebuah kota di Aljazair. Ibunya seorang Kristen, sementara ayahnya Pagan. Agustinus sendiri pada awalnya menganut Manikheisme sebagai agamanya sebelum akhirnya berpindah menjadi Kristen. Peristiwa konversinya menjadi Kristen itu dituliskannya menjadi sebuah karya yang monumental: Confessions. Sejak dini, Agustinus memang telah banyak bersinggungan dengan filsafat dan utamanya retorika dalam pendidikannya. Salah seorang pemikir retorika yang banyak memengaruhi pemikirannya ialah Cicero. Ia bahkan sempat membuka sekolah retorika di Kartago, lalu di Roma, sebelum akhirnya dirugikan dan bangkrut karena para siswa tidak membayar biaya sekolahnya. Ia lantas memilih bekerja pada pengadilan kekaisaran Roma, tetap sebagai guru besar ilmu retorika.
Lalu, bagaimana pendidikan dan perkembangan spiritualnya tersebut memengaruhi cara St. Agustinus memandang sastra?
Sebagai seorang pemikir, St. Agustinus tidak begitu suka pada kajian-kajian liberal. Patokan estetisnya adalah karya klasik Yunani kuno. Filsuf idolanya adalah Plato. Jadi, sudah bisa sedikit tertebak kan bagaimana ia memosisikan sastra? Ia cenderung patuh pada cara pandang Plato: sastra itu selamanya tidak pernah mewakili kebenaran (truth). Tetapi cukup sampai di situ kebersamaannya dengan Plato karena Agustinus tidak juga sepenuhnya satu pikiran dengan Plato, utamanya soal hubungan sastra dengan kebenaran tadi. St. Agustinus melihat bahwa karya seni secara umum (sastra termasuk di dalamnya) gagal atau tidak mampu menjadi apa yang sebenarnya ingin direpresentasikan oleh karya itu. Akan tetapi, semua seniman (maka termasuk para sastrawan pula) harus melewati fase “gagal” atau “keliru” itu sebelum akhirnya mampu memahaminya di ranah ide. Hal tersebut berlaku demikian karena bagi St. Agustinus manusia memiliki keterbatasan yang tak bisa dimungkiri. Ingat cerita pembuka di atas kan? Nah, di sini St. Agustinus mengambil jalan yang berbeda dari Plato.
Untuk dapat memahami perbedaan pandangannya dengan Plato, kita harus menilik lebih jauh konsep keindahan (estetika) Agustinian. St. Agustinus beranggapan bahwa keindahan (beauty) itu bukan semata-mata atribut pada benda fisik. Ia menaruh perhatian lebih pada bagaimana benda fisik ini terhubung dengan “the divine”. Serupa Plato, ia menganggap bahwa hal yang berada di posisi tertinggi adalah ide/gagasan/the divine. Bedanya, Plato melihat bahwa upaya manusia mengejawantahkan sesuatu yang ideal itu dalam bentuk konkret adalah semata-mata kegagalan dan malah menjadikannya berada di posisi yang amat rendah akibat tidak adanya kebenaran yang terwakili dalam karya seni tersebut. Sementara St. Agustinus menempatkan karya seni secara umum sebagai akses yang memungkinkan manusia mencecap the divine itu. Keindahan yang ada pada karya seni fisik atau duniawi ini bersumber dari dan merepresentasikan keindahan yang divine. Oleh karena itu, dengan memahami keindahan fisik suatu karya seni, manusia diharapkan berupaya mengaitkannya dengan keindahan yang agung yang tak terindra itu. Meski demikian, St. Agustinus memang masih senada dengan Plato dalam urusan menempatkan ide dan konkretisasinya pada hierarki: keindahan fisik tetaplah berada di bawah keindahan spiritual.
Sepertinya, pemikiran St. Agustinus di ataslah yang memengaruhi bagaimana Gereja memandang dunia materiil. Gereja tidak melihat dunia materiil ini sebagai sesuatu yang tidak nyata, justru merupakan bagian dari skema agung penciptaan oleh Tuhan. Keindahan dunia materiil adalah ekspresi dari keindahan sumbernya. Hal-hal duniawi adalah sarana (means) bagi manusia untuk “enjoyment of God”. Yang fana ini hanyalah jalan atau cara. Sementara yang sebenarnya dapat dinikmati hanyalah sesuatu yang baka, abadi, dan tak berubah, yakni the divine itu sendiri. Dalam kerangka ini, makna hal duniawi tidak mungkin literal. Makna itu pasti merujuk pada “yang ditandainya” di ranah lain, di ranah spiritual/ide. Hubungan antara keduanya adalah alegoris. Dalam konteks Kristiani, St. Agustinus mencetuskan konsep “Divine Word” yang terinkarnasi dalam Kristus. Kristus atau Divine Word inilah yang membangun akses dari bahasa manusia menuju Divine World. Dalam konsep keterhubungan antara yang surgawi dengan yang duniawi ini, kita melihat tubuh lain di Agustinus yaitu Neo-Platonisme. Dengan memandang yang duniawi sebagai alegori dari yang surgawi, Agustinus dengan sangat baik mempertemukan warisan klasik, sastra, dan Kristianitas. Tapi sampai di sini kita belum bertemu sesuatu yang benar-benar khas Agustinus. Kita baru melihat pengaruh-pengaruh yang ada di pemikiran Agustinus dan pengembangannya.
Tanda dalam Retorika Agustinian
Hal yang benar-benar orisinal dalam pemikiran St. Agustinus adalah teorinya tentang tanda. Ya, tanda; sebuah konsep yang pasti terdengar sangat modern dan kontemporer di telinga kita yang biasa mendengar nama-nama seperti Saussure, Umberto Eco, Barthes, bahkan Lacan. Teori tandanya inilah yang menjadi jurang pemisah dirinya dari Platonisme dan Neo-Platonisme. Lewat konsep-konsepnya tentang tanda inilah ia membedakan teori alegori biblisnya dengan alegori sekuler Plotinus (Neo-Platonis). Gagasan-gagasan St. Agustinus mengenai teori tanda maktub dalam De Doctrina Christiana (On Christian Doctrine) volume kedua (seluruhnya terdiri dari tiga buku). Buku ini adalah perempatan menarik di mana tradisi retorika (tanda), filsafat Klasik (alegori) dan filsafat Kristen (trinitas) bertemu.
St. Agustinus membuat beberapa klasifikasi tanda. Tanda adalah pengalaman indrawi, yang di sisi lain menimbulkan representasi mental dalam kepala seseorang. Secara umum, ada tanda alami (natural sign), yakni tanda tanpa intensi manusia namun tetap memberi “pengetahuan”, misalnya asap sebagai tanda adanya api. Kemudian ada tanda lain yaitu conventional sign, yang didefinisikan St. Agustinus sebagai tanda yang dipertukarkan manusia untuk menunjukkan perasaan atau pikirannya. Contoh dari tanda jenis ini adalah kata-kata dalam percakapan sehari-hari.
Dalam klasifikasi lainnya yang mengacu pada alegori dalam Injil, St. Agustinus membedakan dua jenis tanda. Pertama adalah proper sign, yakni tanda yang merujuk pada objek yang dimaksud secara langsung. Jenis kedua adalah figurative sign yang merujuk pada objek yang menandakan hal lain. Untuk lebih memahaminya, bisa kita ambil contoh dari kitab suci. Di dalam kitab suci, seperti halnya karya-karya sastra Klasik, ditemukan banyak ungkapan dan ekspresi yang aneh dan jadi membingungkan bila dimengerti secara harfiah atau literal. Ungkapan atau ekspresi semacam itu harus ditempatkan sebagai tanda yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar teks itu secara fisik dan perlu dimengerti dengan cara lain, yaitu secara alegoris. Nah, St. Agustinus lantas membuat sebuah rumus atau preskripsi yang sebaiknya dijadikan panduan pembaca kitab suci. Demikian kira-kira bunyinya:
Apabila tulisan dalam kitab suci inkonsisten dengan doktrin-doktrin Kristiani, berarti itu adalah bahasa kiasan (figurative languange).Oleh karena itu, harus dicari makna sesungguhnya (bukan makna literalnya).
Preskripsi ini banyak menjawab kebingungan-kebingungan dalam tafsir kitab suci, terutama pada bagian dengan redaksi yang sekilas tampak tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Misalnya pada Matius 5: 29, “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke neraka.” Nah, dalam aturan Kristen tidak pernah ada hukuman berupa pencungkilan mata dengan dasar biblis tersebut. Ayat itu merupakan salah satu bentuk figures of speech yang menurut rumusan St. Agustinus harus dipahami tidak secara literal. Mencungkil mata dalam konteks itu dimaksudkan sebagai upaya menghilangkan keburukan-keburukan manusia agar tidak seutuhnya manusia itu jatuh ke dalam dosa. St. Agustinus sendiri mendukung adanya interpretasi kitab suci yang beragam, tentunya selama ragam tafsir tersebut tunduk pada kendali ketat, yakni sesuai dengan kebenaran divine.
Dalam dinamika tersebut, jelas St. Agustinus memberi ruang pada akal (reason). Fungsi akal adalah membantu memahami alegori dunia fana tersebut. Baginya, yang fana – akal ada di sini – adalah means (sarana) dan yang baka adalah ends (tujuan). Selain dalam pemahaman ketika membaca kitab suci, St. Agustinus juga memberikan tips pada para pengkhotbah Kristen masa itu agar selalu menggunakan retorika yang “jelas”; jangan sampai penjelasan mereka malah menambah bingung para pendengarnya (mengingat teks kitab suci sendiri banyak sekali mengandung figurative language). Para pengkhotbah ini harus menyampaikan makna kitab suci itu sejelas-jelasnya. Bagi St. Agustinus, “tanda” bukan hanya tanda kebesaran Tuhan tapi sekaligus tanda betapa terbatasnya pengetahuan manusia. Jadi meskipun ada ruang untuk akal, sesungguhnya manusia sudah terbatas dari awalnya.
Yang Tertinggal
Bagaimana St. Agustinus berjibaku dalam ilmu retorika dan pemikiran-pemikiran lainnya tentu meninggalkan jejak yang cukup signifikan. Peninggalannya yang paling dominan ialah konsep alegori khas Gereja dan tanda. Konsep-konsep ini ternyata di kemudian hari diulik lagi dan dikembangkan oleh para pemikir. Buktinya, preskripsinya mengenai cara memahami figurative language dalam sebuah teks tentu tak asing di dunia kritik sastra yang kita kenal saat ini, bukan? Kiasan yang bertebaran itu bukan dimaksudkan untuk menyesatkan atau membuat pembacanya salah paham, melainkan menuntun pada makna yang melampaui arti literal. Bahkan, dalam banyak kesempatan, penggunaan figures of speech mampu memuat makna yang lebih penuh dan utuh ketimbang deskripsi literal. Semuanya itu terangkum dalam bingkai retorika.
Sebagai salah satu filsuf besar Gereja, ia termasuk figur yang mengambil bagian dalam upaya rekonsiliasi tradisi Klasik dengan tradisi Kristen. Jalan rekonsiliasi yang diambil oleh sejumlah pemikir Kristen ini ternyata cukup membantu memberi titik terang (meski pada sebagian orang tetap tidak menyelesaikan masalah) dalam menempatkan tradisi Klasik yang mereka pegang sebagai standar estetis tertentu dalam kesesuaiannya dengan ajaran Kristen.
Perlu disadari, rekonsiliasi ini membuktikan bahwa Abad Pertengahan tidak sepenuhnya tenggelam dalam nada-nada religius (meski tidak dimungkiri itulah yang jadi ciri dominannya). Konsep alegori St. Agustinus memberikan ruang pada akal (reason) untuk dapat “mencampuri” urusan-urusan spiritual yang biasanya diasumsikan berada di luar kemampuan nalar akal manusia. St. Agustinus dengan jelas menyatakan bahwa akal bukan diberikan pada manusia tanpa tujuan. Justru berfaedah untuk membantu memahami suatu perwujudan dan mengaitkannya dengan the divine beauty. Di sanalah manfaat dan fungsi akal yang paling mujarab.
[1]Lih. Habib, M.A.R. A History of Literary Criticism: From Plato to the Present. Victoria: Blackwell Publishing, 2005.
[2]Meski bukan untuk pertama kalinya dimunculkan ke permukaan dalam wacana sastra—sebab sudah pernah dipaparkan dalam pemikiran Cicero yang mendahuluinya sekitar tiga abad, alegori menjadi salah satu penanda identik warisan masa awal abad Pertengahan.
Trackbacks / Pingbacks