Penulis: Maria Puspitasari Munthe

Vernakularisme Penyair Prancis

Kerja Du Bellay dan Ronsard dalam upaya memajukan bahasa vernakular mereka menunjukkan bahwa bahasa memainkan peran penting dalam kehidupan politik bangsanya. Inferioritas Prancis di hadapan Yunani klasik dan Romawi dapat diredakan salah satunya dengan punya kedaulatan untuk menggunakan bahasa vernakular mereka sendiri dan melahirkan karya-karya besar dalam bahasa itu. Dengan demikian, mereka bisa punya pengaruh yang besar pula dalam medan politik dan kebudayaannya.

Baca lebih lajut

Tradisi Kitab Suci dan Jalan Panjang Alegori

Oleh karena sastra membicarakan hal-hal yang “tidak riil” alias dibayangkan saja itu, sastra harus menggunakan peranti metafora pada ekspresi verbalnya. Lalu, apa bedanya dengan metafora yang juga digunakan dalam teks-teks kitab suci? Umberto Eco menjelaskan bahwa teks kitab suci mengandung “misteri” yang melampaui kapasitas pemahaman manusia, sehingga harus diekspresikan dengan metafora dan alegori. Sementara sastra—yang dalam hierarki pengetahuan versi Aquinas berada di posisi lebih rendah ketimbang kitab suci—justru perlu menggunakan metafora dan alegori karena “kekurangannya” dalam hal pengetahuan akan kebenaran.

Baca lebih lajut

Vernakularisme dan Alegori Dante Alighieri

Upaya Dante “melahirkan” bahasa vernakular yang layak menempati posisi luhur dalam penulisan sastra ini terasa seperti mimikri terhadap tradisi klasik. Yang coba ditirunya meliputi elemen tema, struktur atau bentuk karya, gramatika, hingga sifat elitisnya. Meski demikian, hal penting yang patut dihargai dari argumen Dante adalah imajinasinya yang begitu kuat, sehingga mampu membayangkan lahirnya gramatika bahasa vernakular, walaupun secara rasional kondisi bahasa itu sendiri masih sangat terbatas.

Baca lebih lajut

Alegori dan Tanda Ilahiah St. Agustinus

Perlu disadari, rekonsiliasi ini membuktikan bahwa Abad Pertengahan tidak sepenuhnya tenggelam dalam nada-nada religius (meski tidak dimungkiri itulah yang jadi ciri dominannya). Konsep alegori St. Agustinus memberikan ruang pada akal (reason) untuk dapat “mencampuri” urusan-urusan spiritual yang biasanya diasumsikan berada di luar kemampuan nalar akal manusia. St. Agustinus dengan jelas menyatakan bahwa akal bukan diberikan pada manusia tanpa tujuan. Justru berfaedah untuk membantu memahami suatu perwujudan dan mengaitkannya dengan the divine beauty. Di sanalah manfaat dan fungsi akal yang paling mujarab.

Baca lebih lajut

Jalan Tengah Aristoteles

Pengaruh besar Aristoteles tersebut tentunya turut membangun tradisi kritik sastra pada masanya. Dengan adanya standar-standar (baik-buruk) yang disusun oleh Aristoteles, dimungkinkan adanya metode kritik yang lebih evaluatif atas karya sastra. Tidak hanya semata-mata menilai karya itu memiliki fungsi didaktis atau tidak, seperti yang dilakukan Plato. Rumusan standar penilaian oleh Aristoteles itu membuka peluang untuk menciptakan kritik yang lebih terukur dan punya dasar yang jelas.

Baca lebih lajut