Bulan: April 2020

Hanyut dalam Cerita

Pertama-tama, sublim diartikan dalam hubungannya dengan pembaca, yakni hadirnya efek ekstase yang dialami dan tak-dapat-dilawan oleh pembaca. Efek ekstase ini adalah efek wonder (takjub, tercengang, kaget), bukan hanya yakin atau senang. Karena takjub dan tercengang, jiwa atau diri pembaca diangkat untuk mencapai sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak-terbatas, tak dapat dikontrol, tak bisa dilawan karena melampaui kekuatan rasio, ‘dekat dengan pikiran Tuhan’. Saat mengalami sublim, kita merasakan ‘proud possession’, sebuah kebanggaan yang penuh kegembiraan, seakan-akan kita sendiri yang menghasilkan karya yang membuat kita sublim. Efek sublim ini akan bertahan lama dan terulang, dan memori atas efek itu ‘susah diatasi dan tak terhapus’. Sublim menghubungkan kita dengan tujuan tertinggi manusia dan mengenali potensi tak terbatas dari manusia.

Baca lebih lajut

Ambivalensi Horace

Adapun tawaran Horace meliputi: (1) relasi penulis dengan karya, pengetahuannya tentang tradisi, dan kemampuannya sendiri; (2) karakteristik Ars Poetica sebagai struktur verbal meliputi kesatuan (unity), kesopanan/kepantasan (propriety), dan penyusunan (arrangement); (3) fungsi moral dan sosial sebuah karya, seperti mengembangkan kebijaksanaan, memberikan contoh moral melalui karakter, mengembangkan nilai sipil dan sensibilitas, sekaligus menyediakan kenikmatan untuk pembaca: (4) kontribusi pembaca (audience) pada komposisi karya, baik sebagai seni maupun komoditas; (5) kesadaran akan sejarah sastra dan perubahan bahasa dan genre.

Baca lebih lajut

Retorika Romawi: Panggung Masyarakat Kali Pertama

Dengan kata lain, filsafat dan retorika memiliki jalan yang berbeda ketika berhadapan dengan konsep kebenaran. Kebenaran retorik, meskipun harus didukung juga oleh filsafat dan ilmu pengetahuan, pada akhirnya tetap berada di tangan audiens sebagai hakim utamanya. Sementara audiens—atau saat ini bisa kita sebut sebagai masyarakat apresiator—yang memiliki kuasa besar untuk menilai kualitas orasi atau seorang orator juga tidak bisa terlepas dari konteks ruang dan waktunya. Maka kebenaran retorik itu pun bersifat kultural dan dengan demikian sangat relatif.

Baca lebih lajut