Saya hanyut dalam cerita. Saya terbawa ke dunia lain saat membaca Gempa Waktu. Saya tidak bisa berhenti membaca Bumi Manusia sebelum selesai. Saya merasakan amarah Minke dan mengagumi kecantikan Annelies. Afrizal Malna membuat saya seperti diserbu benda-benda di sekitar saya. Saya terombang-ambing dalam pikiran-pikiran gelap, aneh, tapi nyata dari tokoh-tokoh dalam Ziarah. Saya merasakan ketulusan cinta yang sederhana dari puisi Sapardi. Saat membaca Ulid, saya ditarik menjadi orang desa, yang bangga dengan masa kanak-kanak sekaligus penuh getir merasakan kemiskinan yang mengungkung kampung. Saya terjebak di jejaring intertekstual puisi-puisi Saut Situmorang.

Seperti itulah kira-kira perasaan kita saat terhanyut dalam sebuah cerita atau puisi. Kita dibawa ke dunia fiksi, seakan-akan dunia itu nyata, seakan-akan kita sendirilah tokoh utamanya, sehingga kita juga turut marah atau sedih menghadapi dunia di sekitar tokoh utama. Singkatnya, kita merasakan ekstase, keadaan di luar kesadaran diri bahwa kita dan cerita yang kita baca merupakan dua subjek terpisah. Namun, kita juga merasakan kekhusyukan tertentu, yang membuat kita mencapai kesenangan setelah selesai membaca—entah kesenangan dari kepedihan (tragedi) atau kesenangan dari kemenangan tokoh utama (roman). Perasaan-perasaan ini, dalam tradisi pemikiran Klasik Barat, khususnya di masa Romawi ketika Retorika menjadi puncak dari ilmu, disebut sebagai sublim.

Sublim merupakan konsep yang dalam tradisi modern dianggap sebagai sejenis estetika tertentu, berlawanan, kadang saling-mendefinisikan, dengan keindahan. Secara umum, mengacu pada Immanuel Kant, sublim dianggap sebagai kondisi cemas yang menyenangkan, yang dihasilkan dari ketidakmampuan merekonsiliasi logika dengan perasaan atau saat objek yang kita lihat, dengar, atau rasakan begitu besar sehingga kita tidak mampu melawannya. Di masa ini, setelah tahun 1960an, konsep sublim tetap dipakai dalam pemikiran pascamodern (Lyotard) maupun psikoanalisis (Lacan) dengan revisi-revisi dan kontekstualisasi masing-masing.

Kembali ke masa Romawi, khususnya ke risalah ‘Longinus’ On the Sublime yang diperkirakan dibuat pada abad pertama Masehi,[i]sublim cenderung diartikan lebih umum dan luas, tapi juga secara khusus mengacu pada [a] keterkaitan antara pemikiran besar dan komposisi tekstual atau oratorial, dan [b] hubungannya dengan pembaca atau pendengar. Dengan kata lain, Longinus membahas sublim dari dua sudut pandang sekaligus, yaitu pengarang dan pembaca. Dari sudut pandang pengarang, kita akan mendiskusikan ‘resep’ Longinus untuk mencipta karya sublim; sedangkan dari sudut pandang pembaca, kita akan melihat siapa yang bisa mencapai sublim dan apa efeknya bagi kita. Terakhir, sublim terkait erat dengan penilaian karya sastra: hierarki karya besar dan karya medioker.

Apa itu Sublim?[ii]

Dalam On the Sublime, Longinus memaparkan secara berserak apa yang disebutnya sebagai sublim. Dan karena versi risalah yang diterjemahkan dan bisa dibaca saat ini merupakan versi yang tidak lengkap, kita kehilangan alur rinci dari nalar Longinus. Bagaimanapun, serakan-serakan itu paling tidak memberikan beberapa definisi mendasar mengenai sublim, sumber sublim, jebakan saat pengarang ingin menghasilkan karya sublim, jalan untuk sampai sublim (bagi pengarang), dan tingkatan ‘kualitas’ karya berdasarkan kemampuannya menghadirkan sublim [yang bisa dipakai untuk menilai teks yang kita baca].

Berdasarkan serakan fitur makna sublim dalam On the Sublime, saya merangkumnya dalam beberapa kalimat berikut. Pertama-tama, sublim diartikan dalam hubungannya dengan pembaca, yakni hadirnya efek ekstase yang dialami dan tak-dapat-dilawan oleh pembaca.[iii] Efek ekstase ini adalah efek wonder (takjub, tercengang, kaget), bukan hanya yakin atau senang. Karena takjub dan tercengang, jiwa atau diri pembaca diangkat untuk mencapai sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak-terbatas, tak dapat dikontrol, tak bisa dilawan karena melampaui kekuatan rasio, ‘dekat dengan pikiran Tuhan’.[iv] Saat mengalami sublim, kita merasakan ‘proud possession’, sebuah kebanggaan yang penuh kegembiraan, seakan-akan kita sendiri yang menghasilkan karya yang membuat kita sublim. Efek sublim ini akan bertahan lama dan terulang, dan memori atas efek itu ‘susah diatasi dan tak terhapus’. Sublim menghubungkan kita dengan tujuan tertinggi manusia dan mengenali potensi tak terbatas dari manusia.

Definisi yang terasa sangat umum dan abstrak itu mungkin susah kita bayangkan penerapannya dalam pembacaan teks—apalagi Longinus memberi contoh karya-karya yang kemungkinan besar belum kita baca. Namun, sebagai pembaca, kita juga merasakan apa yang dibicarakan Longinus: bahwa kita terbawa dan hanyut dalam dunia teks, bahwa kita juga merasakan kesenangan tertentu saat selesai membaca teks, bahwa efek tekstual bisa terbawa sampai berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.Lebih jauh, sebuah cerita kita anggap bagus ketika mampu menghanyutkan atau menerbangkan kita, ketika mampu membuat kita merasakan apa yang dirasakan tokoh atau ‘pengarang’ (dalam konteks orasi). Sayangnya, dalam pandangan Longinus, hanya orang-orang tertentu yang akan bisa merasakan efek sublim, yakni orang-orang yang memang telah memiliki pengetahuan atas tradisi sastra. Kita akan memeriksa lebih jauh kenapa Longinus berpendapat demikian.

Sumber Sublim dan Jebakannya

Dalam pandangan Longinus, ada lima sumber dari sublim atau kesuksesan teks untuk menghasilkan efek sublim: ide besar, emosi yang intens, konstruksi majas, kemuliaan frasa [nobility of phrases], dan imbas peninggian harkat dan martabat manusia [general effect of dignity and elevation]. Ide besar berhubungan dengan visi seorang pengarang; intensitas emosi terkait dengan pergulatan manusia dengan dunianya; konstruksi majas merupakan inti dari komposisi cerita; dan kemuliaan frasa terkait erat dengan pemilihan kata dan frasa ‘sastrawi’, yang dalam konteks Longinus berhubungan dengan kata dan frasa yang hadir dalam karya-karya Klasik Yunani atau dari Alkitab. Sedangkan sumber sublim terakhir tampaknya terkait dengan pengutamaan harkat manusia dan kemungkinan untuk meninggikan martabat manusia.

Lima sumber sublim itu, bagaimanapun, bukanlah eksplorasi utama Longinus. Ia tampaknya lebih fokus untuk menunjukkan jalan—dan bukan sumber—untuk menuju sublim. Bahkan, jalan untuk menuju sublim itu tidak terlalu jelas mengacu pada sumber sublim yang mana dari lima sumber yang disebutkan Longinus.

Sebelum mengeksplorasi jalan-menuju-sublim, baiknya kita melihat paparan bernas dari Longinus mengenai jebakan atau kekeliruan saat seorang sastrawan ingin mencapai kehebatan, mengejar keindahan, atau singkatnya, saat ingin merengkuh sublimitas.Seperti akan kita lihat, jebakan yang dieksplorasi Longinus sering kita sebut hari ini dengan istilah berbeda saat mengevaluasi sebuah teks.

Jebakan yang pertama dinamai Longinus tumidity (bengkak). Kondisi ‘bengkak’ terjadi saat seorang sastrawan membidik sesuatu yang terlalu tinggi. Alih-alih menghasilkan ekstase, ia jatuh pada ‘kesalahan bodoh’ dan hanya menulis karya yang bombastis dan berlebihan. Kekeliruan kedua, puerility (kekanak-kanakan), kekeliruan paling tercela menurut Longinus, adalah kebalikan dari tumidity. Seorang sastrawan terjebak menghasilkan karya ‘kekanak-kanakan’ saat ia berusaha terlalu keras untuk menyenangkan atau membuat karyanya tampak indah sehingga ia jatuh pada afeksi, pada perasaan sentimental yang berlebihan.

Kekeliruan terakhir adalah parenthyrson (bermuluk-muluk, bermegah-diri). Longinus mendefinisikan parenthyrson sebagai “emosi tak perlu yang salah-tempat dan tak-bermakna” atau “tak bisa menahan diri saat pengekangan dibutuhkan.” Bagi Longinus, emosi perlu dijamin oleh masalah bersama sehingga ia tidak jadi sepenuhnya subjektifdan tidak dialami oleh pembaca. Dalam jebakan ketiga ini, tampaknya Longinus membayangkan orasi atau pidato. Namun, kita juga dekat dengan kecenderungan penilaian yang sama saat membaca karya sastra, khususnya puisi. Kadang kita menemukan puisi yang hanya membicarakan diri sendiri, yang mengagungkan emosi yang dialaminya sendiri, tanpa tautan yang jelas dengan masalah bersama.

Jalan Menuju Sublim

Jalan pertama dan utama untuk mencapai sublim dan mengelak dari jebakan di atas,kalau bisa disebut jalan, adalah apa yang disebut Longinus sebagai ‘jenius alamiah’ atau yang kita kenal sekarang sebagai ‘bakat alam’—karena lebih merupakan berkah daripada sesuatu yang dipelajari.Pun demikian, ‘bakat alam’ ini lebih terkait dengan pemikiran besar atau visi dunia daripada kemampuan alamiah mencipta komposisi. Seorang pengarang besar mencapai sublim karena kebesaran pemikirannya, kemampuan mencipta visi dunia yang baik (secara moral dan teologis). Longinus lebih jauh menyatakan bahwa visi yang solid hanya bisa dicapai lewat realitas, bukan romantika. Realitaslah, kata Longinus, yang menjadi akar dari karya yang sublim.

Jalan kedua adalah imitasi. Namun, tidak seperti para pemikir Yunani di masa sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles, imitasi yang dimaksud Longinus tidak terkait dengan peniruan atas alam, melainkan peniruan atas sastrawan dan sejarawan hebat di masa lalu. Atau, mengutip Longinus, ‘natural genius of those old writers’. Longinus adalah salah seorang kritikus awal yang sangat menghargai dan menjunjung tradisi seni, terutama sastra. Baginya, jauh sebelum T.S. Eliot, kehebatan sastrawan diukur melalui hubungannya dengan para sastrawan sebelumnya. Dan mengantisipasi pemikiran lain yang lebih terkini terkait pengaruh, ia menekankan bahwa imitasi terhadap sastrawan besar di masa sebelumnya bukan berarti tidak menciptakan sesuatu yang baru.

Bagi Longinus, pengaruh selalu bersifat aktif karena pengarang di masa kontemporer bertanding dengan pengarang besar dari masa lalu seakan-akan sedang ‘memperebutkan sebuah hadiah’. Lagi, menekankan pentingnya tradisi, Longinus menyatakan bahwa seorang sastrawan mesti mempertimbangkan pertanyaan berikut saat membuat karya: apa kira-kira komentar sastrawan hebat di masa lampau terhadap karya saya? Pertanyaan itu penting karena dengan ‘berkomunikasi’ dengan para pendahulu, kita mengerti posisi kita saat ini.

Imajinasi adalah jalan lainnya. Menurut Longinus, komponen dasar sublim, yakni bobot [weight], kemuliaan [grandeur], dan kekuatan [energy] bisa dihasilkan melalui penggunaan citra (image). Imajinasi dalam pandangan Longinus adalah kekuatan menghadirkan citra yang kuat ke hadapan pembaca atau pendengar. Dengan imajinasi, pembaca akan melihat apa yang Anda lihat, mendengar apa yang Anda dengar, merasakan apa yang Anda rasakan. Dengan imajinasi, sebuah teks akan melampaui fungsi persuasi, menjadikan seorang retoris menguasai audience—atau, dalam konteks sastra, sebuah karya menguasai pembacanya. Di wilayah ini, Longinus membedakan imajinasi dalam prosa dan puisi. Imajinasi yang sempurna dalam prosa adalah realitas dan kebenaran, sedangkan imajinasi puisi menunjukkan ‘pernyataan berlebihan yang romantis, jauh melampaui batas-batas kredibilitas’.

Jalan keempat adalah penggunaan majas. Uniknya, menurut Longinus, penggunaan majas yang paling efektif adalah ketika majas yang dimaksud tak mendapat perhatian pembaca karena telah tersamarkan oleh sublimitas dan efek kuat dari emosi yang ditimbulkannya. Ada beberapa jenis majas yang baginya mampu mencipta sublim.[v]Majas pertama adalah penggunaan apostrophe atau sumpah. Longinus mencontohkan Demosthenes untuk menunjukkan bahwa dengan sumpah, sang orator mampu mentransformasi argumennya menjadi teks sublim dan membawa para penonton bersamanya. Penggunaan retorika tanya-jawab juga penting untuk mengaktifkan peran-serta penonton. Majas yang ketiga adalah pembalikan tatanan kata, frasa atau kalimat. Dengan begitu, kata-kata tampak asing, tetapi menarik perhatian dan menghantam pikiran. Akumulasi, variasi, dan klimaks adalah contoh lain dari majasnya Longinus. Ketiganya membantu menguatkan emosi dalam orasi maupun teks dan akhirnya mampu memberi efek sublim.

Dua jalan terakhir adalah komposisi dan kemuliaan (nobility) kata, pikiran, dan metafora.Sebuah teks mesti ditata sedemikian rupa sehingga elemen-elemennya menjadi sebuah kesatuan organik. Strukturnya mesti tertata dan koheren. Komposisi, bagi Longinus, adalah sebuah melodi kata-kata, dalam arti ‘instrumen alamiah’ untuk meyakinkan dan menyenangkan, tapi juga untuk mencapai keagungan dan memperoleh emosi. Karenanya, dengan komposisi yang baik, yang tertata dan koheren, yang mampu menyatukan elemen-elemennya,sebuah teks akan mencapai jiwa para pembacanya.

Terkait dengan kemuliaan (nobility), tampaknya Longinus menganggap bahwa ada yang namanya ‘kata-kata sastrawi’, ‘kata-kata yang mulia’, yang indah, agung, yang semuanya mengacu pada cita rasa klasik (Yunani atau bahasa dalam Alkitab).Dalam On the Sublime, Longinus memang lebih banyak menganalisis karya-karya dari masa lampau daripada karya-karya kontemporer di zamannya.Longinus termasuk orang yang meratapi kejatuhan literer zamannya dan mengagungkan karya-karya klasik. Longinus tampaknya ingin menekankan bahwa sebuah karya punya kode estetis yang hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang belajar tradisi.

Karya Besar vs Medioker

On the Sublime merupakan risalah yang ikut serta dalam salah satu perdebatan penting di zaman Romawi periode Horace dan Quintillian: apakah karya besar lahir dari seorang jenius (‘bakat alam’) atau dari teknik yang baik (‘intelektualitas’)? Seperti Horace, Longinus mengambil jalan tengah.

Longinus memang menyebut jenius merupakan sumber utama karya besar, tetapi ia merasa bahwa proses aktif seorang jenius tidak mungkin acak dan tidak sistematis, dan bahwa ‘penilaian yang baik’ yang disediakan oleh aturan-aturan seni mutlak diperlukan. Terkait dengan karya besar, Longinus mengajukan satu pertanyaan yang saya kira tetap relevan dalam konteks terkini: lebih baik mana, karya yang agung dengan beberapa cacat komposisi atau karya yang sempurna secara komposisi tetapi tidak mengandung pemikiran agung? Longinus lebih memilih yang pertama. Baginya, karya dengan komposisi hebat tapi tak punya keagungan melulu hadir dari kesadaran indra dan tidak mengganggu kedamaian pembaca, sedangkan karya yang agung akan mengganggu emosi pembaca.

Selanjutnya, beranjak ke mediokritas dan persoalan ekstra-literer, Longinus dengan agak mengejutkan mengatakan bahwa sumber mediokritas di masanya adalah kecintaan akan uang dan kecintaan akan kesenangan. Agak mengejutkan karena alasan yang sama mungkin secara spontan kita asosiasikan dengan, misalnya, penulis fiksi populer atau penulis bayaran di masa ini. Namun, dengan menyatakan demikian, kita juga bisa merasakan aroma Stoik dan Neo-platonik. Ada kecenderungan untuk memilih jiwa daripada raga, keabadian daripada kefanaan, selfless daripada self-interested.

Gaung Longinus

Ide-ide Longinus bergaung terus hingga sekarang. Ia dikenal sebagai pemberi pengaruh besar pada tradisi Romantik. Tetapi, tidak terbatas di situ, ia memengaruhi banyak pemikir besar seperti Kant dan Burke, dan ide-idenya juga terasa dalam karya-karya Matthew Arnold dan Leavis.

Secara umum, ia menggaungkan ide bahwa puisi atau prosa bisa secara emosional ‘mengangkut’ pembaca alih-alih cuma mengajak atau memberitahu; bahwa totalitas dan kesatuan organik merupakan dasar penilaian yang penting; bahwa imitasi [terhadap pengarang sebelumnya] bersifat alamiah dan karenanya sah-sah saja bahkan diperlukan; bahwa ukuran kualitas karya diambil dari tradisi kanon; bahwa imajinasi menempati posisi lebih tinggi daripada nalar; tapi juga bahwa baik pemikiran besar maupun penggunaan majas—sebagai kekuatan bahasa—mampu mencapai sublim dan memberi efek sublim pada pembaca.

_______________

[i] Selama berabad-abad, nama pengarang On the Sublime berubah-ubah. Baru pada abad ke-19 nama Longinus, dan bukan Cassius Longinus atau Dionysius of Halicarnassus, yang selalu disematkan sebagai pengarang On the Sublime.

[ii] Pemaparan mengenai sublim di sini saya sarikan dari paparan M.A.R. Habib dalam bukunya A History of Literary Criticism: from Plato to Present khususnya bagian Longinus dan dari pembacaan risalah Longinus On the Sublime. Bagaimanapun, tulisan ini mengikuti alur paparan Habib dan sebagian besar pendapat yang dimunculkan di sini berangkat dari paparannya.

[iii] Dalam konteks retorika Romawi, sasaran teks retoris yang dipresentasikan secara oral adalah pendengar atau audience. Dalam konteks tulisan ini, saya mengacu langsung hubungan antara tulisan dengan pembaca.

[iv] Aliran pemikiran di empat abad pertama: Sofistik Kedua dan Neo-Platonisme. Sofistik Kedua mengacu pada generasi retoris dan sofis yang model tulisannya adalah bahasa klasik dan gayanya Attic Greece. Pandangan-pandangan (neo-)platonik dan Stoik ikut mewarnai risalah On the Sublime. Dan metafisika Longinus juga memiliki unsur Kristiani karena dalam berbagai kesempatan ia mengutip Kitab Genesis disandingkan dengan Homer dan para pengarang klasik Yunani (kecenderungan ini agak tidak lazim di masa itu).

[v] Di sini, kita harus ingat bahwa semua teoretikus berupaya untuk menunjukkan berbagai nama dan jenis majas yang berbeda; artinya, kita tidak perlu terjebak pada jenis majas yang umum kita tahu, seperti metafora, metonimi, dan personifikasi; terakhir, Longinus lebih banyak membayangkan orasi daripada teks saat membicarakan majas.