Dante Alighieri ialah seorang sastrawan Italia dengan nama besar yang melanglang zaman. Salah satu magnum opus-nya berjudul Divina Commedia (dalam bahasa Inggris: Divine Comedy) digadang-gadang sebagai pionir sastra Italia. Buku ternama itu memuat puisi liris panjang yang mengisahkan perjalanan Dante ke akhirat, menghadirkan imajinasi pascakehidupan yang dipercaya dalam teologi Kristen. Selain sumbangsih karyanya yang dirayakan besar-besaran ini, kiprah Dante dalam percakapan kritik sastra di masanya juga menarik untuk ditelusuri.

Berkarya pada masa Abad Pertengahan, pengaruh besar tradisi skolastik Kristen jadi salah satu titik berangkat pemikiran Dante. Dalam tulisan ini, ada dua pokok pikiran Dante yang akan saya bagikan. Pokok pikiran pertama mengelaborasi perhatian besar Dante pada bahasa (gramatika); persisnya argumen Dante terkait hal inilah yang menjadi warisan besarnya bagi generasi sastrawan berikutnya. Sementara yang kedua—meski dalam semesta besar yang sama pula dengan bahasa—menunjukkan bagaimana argumen Dante beririsan dengan konsep-konsep terkait alegori yang dikemukakan oleh rekan pemikir sezamannya, St. Thomas Aquinas.

 

Gramatika: Cita-Cita Tegaknya Bahasa Vernakular

Dante menaruh perhatian lebih pada bahasa (khususnya gramatika) karena dalam pandangannya, salah satu keistimewaan manusia yang tak dimiliki makhluk lainnya adalah kemampuan wicara dan nalarnya (faculties of speech and reason[1]). Bahasa merupakan “tanda” yang rasional sekaligus indrawi yang digunakan untuk menyampaikan pemikiran satu orang kepada orang lain dengan medium “sense”, atau sederhananya, untuk berkomunikasi. Dalam penjabarannya tentang bahasa, Dante menyebutkan bahwa ada dua elemen dalam bahasa, yakni sound dan meaning. Yang pertama bersifat indrawi, sementara yang kedua lebih erat kaitannya dengan nalar. Komposisi elemen ini sedikit-banyak terdengar Saussurean. Bagi Dante, alih-alih sesuatu yang menentukan proses berpikir, bahasa sebenarnya hanyalah wajah luar dari pemikiran.

Lantas, apa persisnya bahasa vernakular itu? Dalam definisi umumnya maupun dalam konteks pemikiran Dante sendiri, bahasa vernakular dapat dipadankan dengan bahasa ibu, yakni bahasa yang dikuasai seseorang secara alamiah (natural speech) sejak pertama kali belajar berbicara (dengan cara menirukan). Sebagaimana seseorang belajar bicara dari tingkat yang paling sederhana, bahasa vernakular tidak memiliki batasan aturan tata bahasa yang mapan. Persisnya bahasa inilah yang jadi pusat argumentasi Dante dalam karyanya yang berjudul De Vulgari Eloquentia (dalam bahasa Inggris secara literal berarti “On Eloquence in the Vernacular”, bisa diterjemahkan lepas sebagai “Kefasihan dalam Bahasa Vernakular”). De Vulgari Eloquentia ditulis dalam bahasa Latin, diperkirakan tak berselang lama dari masa pembuangan Dante.[2] Karya ini pada intinya mengutarakan ajakan Dante untuk menggunakan bahasa vernakular dalam penulisan sastra.

Dante memosisikan bahasa vernakular sebagai tuturan primer. Dari tuturan primer inilah, lahir tuturan sekundernya, yakni gramatika. Dalam konteks ini, gramatika dapat diartikan sebagai bentuk yang sudah distabilkan dengan serangkaian aturan tertentu yang tetap, jarang berubah, dan berlaku relatif universal. Menurut Dante, tujuan pembentukan gramatika ada dua, yakni: (1) memenuhi kebutuhan akan stabilitas, sehingga makna dalam penggunaan bahasa tidak gonta-ganti sesuai keinginan setiap orang (menetapkan konvensi), dan (2) menyarikan pengetahuan dari berbagai karya kuno atau karya yang lahir di tempat dan dengan bahasa berbeda.

Mengapa harus bahasa vernakular? Bagaimana cara Dante membawa bahasa vernakular ke muka?

Gramatika, dalam definisi yang disusun Dante, memiliki hubungan sangat erat dengan tradisi sastra. Dante percaya bahwa contoh pemakaian gramatika yang baik dapat ditemukan pada karya-karya sastra klasik yang ditulis oleh para sastrawan besar. Dante bahkan tak segan mengemukakan bahwa semakin mirip cara seorang sastrawan meniru pendahulu klasiknya dalam berkarya, maka karya itu makin mendekati kriteria penulisan karya yang “baik dan benar”[3]. Orientasi pada yang klasik ini pula yang menentukan bagaimana Dante menyusun cita-citanya terkait penggunaan bahasa vernakular dalam penulisan sastra. Ia ingin bahasa vernakular di Italia, tempat ia dan rekan-rekan sastrawannya berkarya, punya perangkat gramatika yang matang dan kemudian digunakan untuk menulis karya-karya besar oleh para jenius. Tak cuma itu, tema-tema karya tersebut juga, sebagaimana karya klasik, mesti bersifat adiluhung, misalnya bicara tentang perang, cinta, dan kebajikan. Bentuknya pun spesifik, yakni ditulis sebagai tragedi atau canzone/canto (salah satu jenis puisi liris dalam tradisi sastra Italia).

Dalam cita-cita Dante, setidaknya ada tiga kriteria yang dibayangkannya perlu dimiliki oleh bahasa vernakular ini. Masyhur (illustrious), bertindak sebagai poros (cardinal), dan bersahaja (courtly). Bahasa vernakular mesti termasyhur atau dipahami dengan baik secara universal di seluruh wilayah, yang dalam konteks Dante: Italia. Bisa jadi, bahasa ini lahir dari pilihan salah satu bahasa lokal (atau juga dialek) dari berbagai daerah yang ada; dan pemilihan ini dilakukan oleh para sastrawan besar (termasuk dirinya sendiri). Bahasa vernakular juga harus jadi poros bagi tumbuh kembang bahasa daerah lain di sekitarnya. Tak lupa, karakteristiknya juga mesti bersahaja, selayaknya bahasa yang digunakan para bangsawan kerajaan. Dengan kriteria semacam ini, Dante sendiri menyatakan bahwa di masa itu belum ada satu pun bahasa daerah/dialek dari seluruh Italia yang dianggap layak jadi bahasa vernakular bangsa itu.

Menariknya, dalam ringkasan yang ditulis Habib—sumber primer tulisan ini, penulisan De Vulgari Eloquentia malah terbilang ironis. Sebagai esai argumentatif yang menyampaikan ajakan untuk mulai menggunakan bahasa vernakular, karya ini malah ditulis Dante dalam bahasa Latin. Selain itu, meski menganggap bahwa gramatika sebagai tuturan sekunder inferior terhadap bahasa vernakular, cita-cita Dante terkait bahasa vernakular malah melibatkan seperangkat aturan linguistik dan sastrawi yang, lagi-lagi, merupakan karakteristik dari gramatika. Habib menyebut bahwa praktik ini tidak sesuai dengan “teori” yang tengah dikemukakan Dante sendiri. Akan tetapi, pilihan Dante sebenarnya tampak masuk akal. Pada masa itu, bahasa vernakular yang tengah didongkraknya itu belum punya kapasitas yang sama dengan bahasa intelektual yang ada, yakni bahasa Latin. Gramatikanya mungkin belum jadi, dan belum pernah ada sastrawan besar yang menulis dengan bahasa itu pula. Jika tata bahasa yang mapan belum ada, begitu pula contoh klasiknya, maka bagaimana bisa menulis dengan bagus pakai bahasa vernakular? Upaya Dante mendefinisikan kriteria yang dicita-citakannya bagi bahasa vernakular sebenarnya menunjukkan bahwa penilaian “baik-buruk” itu, bagaimanapun, harus selalu ada dasarnya.

Upaya Dante “melahirkan” bahasa vernakular yang layak menempati posisi luhur dalam penulisan sastra ini terasa seperti mimikri terhadap tradisi klasik. Yang coba ditirunya meliputi elemen tema, struktur atau bentuk karya, gramatika, hingga sifat elitisnya. Meski demikian, hal penting yang patut dihargai dari argumen Dante adalah imajinasinya yang begitu kuat, sehingga mampu membayangkan lahirnya gramatika bahasa vernakular, walaupun secara rasional kondisi bahasa itu sendiri masih sangat terbatas. De Vulgari Eloquentia adalah usaha babat alas Dante. Ia “hanya” memercik kemungkinan imajinatifnya; nantinya, semangat ini diteruskan oleh para pemikir zaman berikutnya, Renaisans. Karya besarnya yang lain, Divina Commedia, bahkan disebut-sebut juga “menyeleweng” dari aturan-aturan yang disusunnya sendiri dalam De Vulgari Eloquentia. Puisi naratif tentang perjalanan ke neraka, api pencucian, hingga akhirnya bertemu Tuhan di surga ini memang ditulis dalam bahasa Tuskan, yang di kemudian hari menjadi apa yang disebut sebagai bahasa Italia. Meski temanya adiluhung, Dante tidak menuliskannya sebagai canzone maupun tragedi (malah dijuduli “komedi”). Dan alih-alih dari teori yang disusunnya, justru bentuk karya yang “menyeleweng” inilah yang selanjutnya jadi pionir bagi gelombang tradisi penulisan sastra di zaman berikutnya.

 

Alegori: Teologi adalah Poros

Alegori adalah tema besar yang jadi elemen dalam pemikiran Abad Pertengahan. Dalam rangkaian tulisan sejarah kritik sastra yang diterbitkan di situs web ini saja, sudah ada tiga nama yang mengelaborasi konsep-konsep terkait alegori, diawali oleh konsep emanasi Plotinus yang jadi batu penjuru bagi para penerus pemikirannya dari tradisi Kristen, yakni St. Agustinus (awal Abad Pertengahan) dan St. Thomas Aquinas. Bukan kebetulan keduanya datang dari tradisi skolastik Kristen, sebab konsep yang mereka susun itu memang ditujukan untuk kepentingan membaca kitab suci. Konsep alegori ini merupakan warisan yang langgeng sampai sekarang.

Secara sederhana, alegori dapat dimengerti demikian: membicarakan suatu hal untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dalam ranah teks, alegori kerap juga dikategorikan sebagai majas. Konsep alegori yang dikemukakan Dante tidaklah jauh berbeda dari konsep yang dipaparkan Aquinas. Secara ringkas, struktur alegori bersifat dualistis, tersusun dari dua jenis makna, yakni makna harfiah dan alegoris (konotatif). Dante dan Aquinas sama-sama menguraikan dualitas alegori tersebut menjadi empat tingkatan makna: literal, alegoris, moral, dan anagogis. Makna literal posisinya ada di permukaan, atau merupakan makna denotatif dari kata-kata yang digunakan. Selain hadir di muka, makna literal juga jadi fondasi bagi lapisan makna yang lain. Makna alegoris merupakan lapisan makna lain yang tersembunyi di balik “keindahan” kata-kata. Makna moral, sederhananya, adalah pelajaran yang perlu dipetik oleh pembaca dan dipercaya memberi manfaat dalam hidup. Sementara makna anagogis merupakan makna puncak, yakni makna yang mengantarkan kita pada kebenaran ilahiah[4].

Tingkatan makna merupakan konsep tafsir yang cukup trendi di kalangan pemikir teologi. Arah pemikiran ini berangkat dari, salah satunya, reaksi atas pendefinisian alegori dan metafora yang sebelumnya disusun oleh para retoris, yakni sebagai sekadar penggantian istilah dengan istilah yang lain. Dalam kerangka konsep yang dipercaya oleh Dante dan para pemikir teologi di zamannya, perbedaan itu tidaklah terletak pada “istilah”, melainkan pada “makna” yang dikandung. Lebih jauh lagi, mereka percaya bahwa makna di setiap tingkatan itu benar adanya,[5] dengan konteksnya masing-masing.

Pada masa Abad Pertengahan, semua hal seakan-akan harus mengorbit di sekitar kosmologi teologis (Kristen). Karena menggunakan batu pijakan yang sama dengan para pemikir teologi, konsep alegori Dante disusunnya sedemikian rupa agar pembicaraan tentang Tuhan (the divine) tetap jadi pusatnya. Elemen pemikiran lain yang turut menyusun argumentasinya tentang ini adalah kepercayaan Aristotelian bahwa realitas yang partikular merupakan pengejawantahan dari realitas yang universal. Jika dihubungkan dengan karakteristik dualistis alegori, makna harfiah mewakili sifat duniawi atau realitas partikular. Alegorilah yang menjadi jalan untuk sampai ke makna spiritual (ultimate), kebenaran ilahiah. Lewat alegori, manusia (yang membaca) akan berupaya mencapai sebuah tujuan spiritual, meninggalkan kondisi berdosa dan menderita untuk jadi manusia yang terberkati. Dengan bersandar pada pemaparan konsep alegoris Dante, Divina Commedia sendiri disebut-sebut jadi contoh baik yang secara alegoris menunjukkan perjalanan menuju yang ilahi itu.

Dasar dari konsep alegori Abad Pertengahan adalah keyakinan bahwa bahasa (atau kata) pada dirinya sendiri tidaklah utuh (the word in itself is incomplete).[7] Warisan terbesar alegori untuk tradisi sastra, atau tradisi membaca secara luas, adalah menunjukkan bahwa visi dunia yang paling jelas sekalipun tidaklah utuh pada dirinya sendiri. Sebaliknya, ia selalu terhubung dengan keberadaan hal lain yang lebih besar (dalam konteks sempit Abad Pertengahan, Tuhan). Pandangan ini mirip dengan argumen Plato, bahwa pikiran manusia (idea) jauh lebih besar daripada apa yang bisa diungkapkan oleh bahasa/sastra. Bedanya, Plato melihat bahasa/sastra terbatas karena karya seni merupakan tiruan KW 2: karya seni meniru realitas, sementara realitas meniru ide. Sementara dalam pemikiran Dante, keterbatasan bahasa itu lagi-lagi dilihat sebagai keterbatasan manusia jika dibandingkan dengan yang ilahi. Nah, alegori merupakan kendaraan dalam bentuk ekspresi verbal terstruktur yang mengantarkan kita pada misteri yang melampaui pemahaman manusia.

Selain berpatokan pada yang klasik, argumen estetika penting lainnya yang diutarakan Dante rupanya juga meneruskan konsep dulce et utile. Dante menyebutkan bahwa manfaat sastra terletak pada maknanya (isi), sementara keindahannya terletak pada bahasanya (bentuk). Serangkaian konsep estetika yang disusunnya untuk memberi definisi dan kriteria dalam penilaian baik-buruknya sebuah karya sastra menunjukkan berbagai pengaruh pemikiran yang coba dinegosiasikannya. Dan formulasi tersebut rupanya berbuah dampak signifikan bagi tradisi sastra yang diteruskan oleh generasi sastrawan zaman berikutnya.

 

[1] Lihat Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to the Present. Victoria: Blackwell Publishing Ltd, hal. 189.

[2] Dalam karier politiknya, pada sekitar tahun 1302, Dante sempat dijatuhi hukuman untuk menjalani pengasingan akibat tuduhan tindak korupsi dan penyelewengan uang saat ia menjabat sebagai pemimpin kota (city prior).

[3] “… the more closely we copy the great poets, the more correct is the poetry we write…” Ibid., hal. 190.

[4] Pembagian lapisan makna beserta definisinya ini selaras dengan versi St. Thomas Aquinas dalam tulisan Tradisi Kitab Suci dan Jalan Panjang Alegori sebab Dante memang berkiblat pada teologi Aquinas.

[5] Keyakinan ini juga dalam rangka melawan pemikiran para retoris yang menilai bahwa makna literal itu bahkan bersifat fiksi.

[6] Meski terkesan senantiasa berporos pada pembicaraan tentang Tuhan, pemikiran Abad Pertengahan tampak seperti upaya sekularisasi agama dengan cara merasionalkannya. Dengan semangat zaman yang teologis, mereka tidak serta-merta skriptural, tidak lantas bertumpu sepenuhnya pada teks kitab suci sebagai kebenaran tunggal yang harfiah pula. Para pemikirnya berusaha “mendekatkan” yang ilahi dan tak terjangkau itu jadi bentuk yang lebih bisa diakomodasi intelektual manusia. Meski berangkat dari teks, mereka menganjurkan pendekatan yang tidak terpaku pada teks itu saja, melainkan menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam teks itu punya makna yang lain, yang harus dicari oleh pembaca. Dalam kasus lain, otoritas agama juga dapat berperan membantu proses pencerapan makna ini: Katolik, misalnya, menerjemahkannya jadi ajaran Gereja. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa “terjemahan” ini tentunya merangkum langkah politik Gereja untuk menjaga teologinya tetap koheren dan bermuara pada ajaran yang ditetapkan oleh otoritas tertingginya.

[7] Ibid., hal. 212.