Beragam karya di masa klasik (Yunani dan Romawi) seperti risalah Dionysius dari Halicarnacus, Horace, dan Longinus merupakan kritik retorika yang diterapkan terhadap sastra. Setelah itu, kajian mengenai sastra di Abad Pertengahan didominasi oleh Gramatika sebelum posisinya diambil alih oleh logika. Lalu, bagaimana nasib kritik retorika di Abad Pertengahan?[i]
Ars poetria, atau teks-teks mengenai seni berpuisi, dirancang untuk diajarkan di sekolah-sekolah katedral dan teks-teks semacam itu dianggap sebagai sub-divisi dari gramatika. Perlu diingat bahwa cakupan gramatika di Abad Pertengahan sangat luas, yaitu sebagai ilmu tentang panduan membaca dan menulis, sekaligus tentang interpretasi karya sastra. Dan sebenarnya pemisahan gramatika dan retorika tidak begitu tegas. Konten dari ars poetria sering kali menggabungkan elemen-elemen gramatika dan retorika.
Teks-teks retorika juga beredar di Abad Pertengahan, seperti Rhetorica ad Herennium atau Rhetorica Nova (Pseudo-Cicero) dan De Inventione (Cicero). Ars Poetica karya Horace yang di Abad Pertengahan disebut Poetria juga beredar luas meski karya itu dianggap sebagai bagian dari gramatika. Setelah periode Carolingian (800–888), kritik yang murni retorika tidak lagi ada dan sudah terserap ke dalam risalah-risalah gramatika meski banyak di antara isinya diambil dari retorika. Karya Geoffrey de Vinsauf Poetria Nova merupakan contoh terbaik yang menggambarkan eksistensi retorika di Abad Pertengahan dan penyerapannya ke dalam gramatika.
Poetria Nova, sebuah risalah berbentuk puisi heksameter dengan panjang 2000-baris, ditulis sekitar 1208-1213.[ii] Karya ini dianggap sebagai ars poetria paling berpengaruh di masanya, dikutip dan digunakan oleh banyak ahli retorika dalam tradisi perceptive grammar, penyair, pemikir skolastik, sejarawan, dan penulis risalah diktat dan prosa. Poetria Nova setidaknya muncul dalam 200 manuskrip, dua per tiga di antaranya dengan komentar atau penjelasan atas kata atau frasa yang digunakan. Karya ini merupakan bagian dari tradisi panjang manual dalam seni liberal (liberal arts), yang dimulai dari Horace hingga jauh setelah abad ke-12. Karya di masa kemudian yang sangat terkenal adalah Essay on Criticism yang ditulis Alexander Pope.
Judul Poetria Nova sendiri menunjukkan permainan intertekstualitas dari dua karya besar retorika dari masa sebelumnya. Kata poetria sepertinya diambil dari Poetria-nya Horace sedangkan nova dari Rhetorica Nova. Geoffrey tampaknya ingin menyusun sebuah poetria baru untuk masanya, sebuah poetria yang sumber utamanya adalah rhetorica.
Setelah menyusun 40an baris awal Poetria Nova sebagai bentuk dedikasi karyanya kepada Paus Innosensius III, Geoffrey de Vinsauf membuka pembahasan risalahnya dengan sebuah “catatan umum” yang sangat terkenal. Ia mengibaratkan penciptaan substansi atau pokok bahasan dalam puisi dengan pembangunan rumah. Orang yang akan membangun rumah tidak akan langsung membiarkan tangannya bertindak. “Tangan-pikiran membentuk keseluruhan rumah sebelum tangan-tubuh membangunnya. Mode mengada penciptaan awalnya arketipal, baru kemudian aktual.”[iii]
Pandangan rasional atas puisi ini, bahwa tindakan mencipta/mengarang terjadi sepenuhnya di kepala sebelum dituliskan, sangat kontras dengan gagasan Romantik mengenai puisi yang telah kita warisi. Percy Bysshe Shelley, misalnya, memandang produk puisi aktual sebagai versi ‘terpencil’ dan ‘luntur’ dari konsepsi orisinal pikiran. Geoffrey memandang bahwa seluruh domain pikiran mendahului bahasa, sebuah pandangan yang merupakan bagian integral dari cara berpikir Abad Pertengahan, yang bertahan lama dalam banyak pemikir hingga sampai abad ke-19. Pandangan ini, sekali lagi, berkebalikan dengan ide yang telah akrab dengan kita, bahwa bahasa bukan hanya ekspresi pikiran tetapi justru bahasalah yang memampukan pikiran. Kita berpikir dengan bahasa; sulit sekali membayangkan bahwa apa yang kita pikirkan berada di luar domain bahasa.
Baru setelah substansi ditemukan, penyair perlu menemukan ekspresi verbal yang tepat—bagi Geoffrey, kata-kata adalah instrumen untuk membuka kunci pikiran. Ada dua jenis urutan atau tatanan dalam membuat karangan, yaitu tatanan alam dan tatanan seni. Tatanan alam mengikuti urutan kejadian, sedangkan tatanan seni lebih beragam. Geoffrey menyebutkan delapan tatanan seni, di antaranya: dimulai dari akhir, dimulai dari tengah, dimulai dengan pepatah, dan dimulai dengan contoh. Dengan mengikuti tatanan seni, penyair mengubah tatanan alam untuk mencipta efek yang lebih baik.
Tatanan seni, bagi Geoffrey, lebih elegan dibandingkan tatanan alam. Pandangan ini berbeda dengan gagasan klasik bahwa seni merupakan imitasi alam dan tingkat kebenarannya di bawah kebenaran alam.
Setelah memaparkan cara menata urutan penulisan puisi dengan contoh-contoh—dan memang risalah ini, sebagai manual, berisi banyak contoh—Geoffrey membahas amplifikasi dan abreviasi. Baru kemudian ia membahas “ornamen gaya” yang digunakan untuk menghiasi puisi—bagian dengan pembahasan paling panjang dalam risalah. Nasihat utama terkait ornamen gaya adalah: Amati dulu pikiran dari kata, baru kemudian wajahnya; jangan cuma percaya hiasan wajah dari kata.[iv] Dalam menggunakan kata, kita tidak boleh hanya mempertimbangkan kualitas superfisial dari bunyi dan tampilannya, tetapi mesti memikirkan dengan baik makna dalam konteksnya.
Geoffrey membagi ornamen gaya menjadi dua, yaitu apa yang disebutnya sebagai Ornamen Susah dan Ornamen Mudah.[v] Pembedaan majas sebagai ornamen didasarkan pada status figuratif dari kata dan makna tidak biasa yang dilekatkan padanya. Di bagian Ornamen Susah, di mana kata-kata hanya dipakai dalam arti figuratifnya saja, ia menjabarkan sepuluh kiasan atau majas, di antaranya metafora, onomatope, antonomasia[vi], alegori, metonimi, hiperbola, dan sinekdoke.
Jika cara ungkap yang dipilih lebih mudah dan ingin dipenuhi hiasan, maka segala teknik yang menggambarkan gaya serius (dignified) mesti dipinggirkan dan diganti dengan yang sederhana. Namun kesederhanaan itu, kata Geoffrey, tidak boleh mengagetkan telinga pendengar karena kekasarannya. Geoffrey kemudian memberi contoh “ragam warna retorika untuk menghiasi gaya Anda.” Di sinilah Geoffrey menjabarkan banyak contoh figures of diction (repetio, conversio, complexio, traductio, dll.) dan figures of thought (distributio, licentia, diminutio, descriptio, disjunctio, dll.).
Di bagian Ornamen Gaya, Geoffrey juga memaparkan apa yang disebutnya sebagai Teori Konversi (kata kerja menjadi kata benda, kata sifat menjadi kata benda, kasus atau temuan baru menjadi kata benda, dll.), Teori Penerang (pemberian determiner atau penerang atau yang menerangkan), dan Beragam Resep yang membahas pilihan kata, kesalahan-kesalahan yang harus dihindari, dan penilaian rangkap tiga atas kata (makna, rasa di telinga, dan penggunaan yang baik).[vii]
Catatan penting dari Geoffrey tentang penggunaan majas adalah bahwa ia harus dibatasi dengan nalar dan tidak boleh berlebihan. Terlepas dari batasan itu, Geoffrey mendorong penyair untuk bereksperimen dengan kata dan makna karena perubahan makna memberi vitalitas baru pada sebuah kata.
Dalam kaitannya dengan audiens, yang dalam konteks sastra bisa kita ganti dengan pembaca, Geoffrey memberi nasihat: sedang-sedang saja, jangan angkuh, dan fasihlah. Seperti pedoman yang dibuat sejak masa klasik: “berbicaralah seperti orang kebanyakan, berpikirlah seperti segelintir orang.” Dengan kata lain, sampaikan wacana yang sukar dengan bahasa yang mudah dipahami. Sesuaikan cara ungkap dengan orang yang kita ajak bicara. Nasihat itu mengingatkan kita pada resep dari Horace, bahwa kita perlu memilih kata-kata yang sesuai dengan apa yang kita bicarakan dan mempertimbangkan audiens sebagai panduan dalam penciptaan.[viii]
Selain nasihat terkait pembaca, Geoffrey menjelaskan tiga elemen keberhasilan untuk mencipta karya sempurna: (a) teori keindahan, yang bisa menjadi penuntun penyair, (b) pengalaman, yang bisa dikembangkan dengan berlatih, dan (c) para penulis unggul, yang bisa ditiru penyair.
Melalui paparan dan nasihat yang diberikan di Poetria Nova, kita bisa melihat posisi Geoffrey yang unik. Di satu sisi, ia mempertahankan resep-resep klasik seperti sikap moderat, decorum[ix], kepantasan/kesopanan (propriety), dan seruan atas nalar. Ia juga mempertahankan pembedaan dan hierarki genre, khususnya prosa dan syair, dan menempatkan komedi di posisi terbawah. Dan contoh-contoh yang diberikannya dipenuhi dengan eulogi kepada Paus, dengan narasi tentang misi Kristus dan dosa asal.
Di sisi lain, ia menjauh dari konsepsi imitasi atas alam dalam seni, mendorong penyair untuk bereksperimen, dan tidak menetapkan fungsi didaktis puisi. Tujuan utama puisi, tulisnya, adalah untuk memberi kenikmatan, meskipun sebuah kenikmatan yang halus dan terkontrol nalar. Sedangkan pembicaraannya mengenai bentuk bisa dilihat sebagai penekanan atas kenikmatan artistik.
Dalam Poetria Nova kita bisa melihat nilai-nilai klasik bersanding gelisah dengan dorongan modernisme.
__________
[i] Sebagian besar pendapat dan analisis dalam tulisan ini disarikan dari A History of Literary Criticism: From Plato to the Present karya M.A.R Habib, Blackwell Publishing, 2005.
[ii] Sebagian karya di masa klasik yang membicarakan teknik berpuisi atau secara umum tentang konsep mengenai sastra bisa jadi ditulis dalam bentuk puisi.
[iii] The mind’s hand shapes the entire house before the body’s hand builds it. Its mode of being is archetypal before it is actual. Lih. Poetria Nova of Geoffrey of Vinsauf (diterjemahkan oleh Margaret F. Nims), hal. 17.
[iv] First examine the mind of a word, and only then its face; do not trust the adornment of its face alone. Ibid, hal. 42.
[v] Dalam bahasa Inggris versi Margaret F. Nims, “Difficult Ornament” dan “Easy Ornament”.
[vi] Penggunaan nama orang untuk mengekspresikan ide umum tertentu.
[vii] Triple judgement of mind, ear, and good usage.
[viii] Dalam konteks pemisahan antara Sastra dan fiksi populer, perhatian kepada pembaca dalam penciptaan dianggap sebagai salah satu ciri fiksi populer; sedangkan dalam konteks Indonesia pasca-reformasi, pengangkatan pembaca sebagai pemberi legitimasi dianggap sebagai jalan keluar bagi impotennya lembaga-lembaga pemberi legitimasi sastra.
[ix] Standar atau syarat terkait selera yang baik, yang tinggi. Merujuk pada Horace, decorum, sebagai sebuah prinsip penting dalam retorika, merupakan seruan atas hubungan yang tepat (proper) antara bentuk dan isi, ekspresi dan pikiran, gaya dan pokok bahasan, diksi, dan karakter.
Komentar Terbaru