Mitos Ratu Adil adalah sebuah kisah yang sering kali digaungkan sebagai simbol pengharapan akan hadirnya ‘terang’ bagi masyarakat di suatu masa yang ‘gelap’. Selalu ada berbagai interpretasi atas masa-masa ‘gelap’ dan ‘terang’ semacam apa yang dianggap ada dan bahkan harus ada. Bagi masyarakat Nusantara, mitos ini dipercaya bermula dari ramalan Jayabaya sekitar abad 12. Ratu Adil, Satrio Piningit, Satrio Pinandita Sinisihan Wahyu, bahkan Prometheus atau Creative Minorities, atau apalah namanya di berbagai tradisi ini kerap digambarkan sebagai figur penyelamat yang dipercaya akan menyelamatkan peradaban manusia. Nama-nama ini mewakili adanya harapan bagi masa yang akan datang.

Lalu apa hubungannya kisah ini dengan obrolan sejarah kritik sastra ala M. A. R. Habib[i]?

Di penghujung Abad Pertengahan—yang pada beberapa kesempatan disebut Abad Gelap, Habib menyebutkan dua nama yang dianggap jadi pembuka jalan menuju tradisi ‘pencerahan’ (Enlightenment). Masa transisi ini secara umum berupaya mengusung gagasan humanisme Abad Pertengahan. Saat pendidikan model skolastik mulai menekankan bentuk studi praktikal, para pemikir yang dijabarkan Habib ini justru merasa orang-orang perlu kembali melihat pentingnya seni dan literatur klasik.

 

Dosa Itu Bernama Sastra[ii]

Ramalan—seperti yang dibuat Jayabaya misalnya—adalah suatu bentuk retorika. Kumpulan kata yang diatur sedemikian rupa sehingga interpretasi atasnya dapat melampaui ruang dan waktu, pun dapat ditafsirkan berulang kali. Giovanni Boccacio (1313-1375) hidup pada masa ketika bentuk-bentuk retorika seperti itu kehilangan kekuatannya. Sastra mengalami penyangkalan dari institusi-institusi agama justru karena maknanya yang tak bisa disatukan dengan ajaran agama. Bersastra adalah berdosa! Sastra dianggap penistaan, penghujatan, fitnah, kecabulan, dan penipuan. Mitos-mitos tak lagi terdengar, tergantikan kisah pewahyuan. Seni menjadi mandul karena hanya dinilai berdasarkan prestisenya, bukan dari kekuatannya.

Sebagai seorang akademisi, Boccacio tak mau kalah.

Ia justru menghadirkan karya kompilasi dari berbagai interpretasi alegoris atas mitos-mitos klasik (Genealogia Deorum Gentilium—Genealogy of the Gentile Gods, 1350-1362).[iii] Ia membangkitkan kekuatan dewa-dewa dan leluhur dari berbagai tradisi yang tersebar ke segala penjuru dunia. Ada dua alasan dari tindakannya itu: pertama, untuk menguraikan kedalaman dan kebenaran makna teks-teks kuno yang selama ini sering kali salah dipahami, termasuk karena pengaruh teologis; dan kedua, untuk mengangkat kembali kebijaksanaan penyair-penyair kuno, yang juga dilakukan untuk melindungi sastra dari berbagai hal yang dapat memudarkannya.[iv]

Perlindungan ini terutama ia tujukan pada kritik pedas para hakim dan pengacara. Mereka mengatakan bahwa puisi tak bisa memberikan kesejahteraan dan kekuasaan, serta tak memiliki nilai praktis. “Penyair, secara umum, pastilah bodoh karena menghabiskan hidupnya untuk aktivitas yang tidak menguntungkan itu,”[v] kata mereka.

Boccacio membalasnya tegas dengan berkata, “kemiskinan, sejatinya merupakan penyakit mental yang sering kali menjangkiti orang-orang kaya.[vi] Ketika para orang kaya tersebut dipenuhi rasa cintanya terhadap uang, prestise, dan hal-hal duniawi (yang tentu saja bisa hilang), sastra berperan seperti teologi atau filosofi yang menolak tujuan-tujuan itu. Kemiskinan imajinasi berjangkit saat orang-orang berusaha mengejar harta belaka, berdasar pada rasa lapar yang tak pernah bisa terpuaskan.[vii]

Dengan argumen itu, Boccacio berintensi untuk menegaskan bahwa: pertama, sastra bertujuan supaya manusia menggapai hal-hal yang lebih besar, yang tak lekang oleh waktu; kedua, sastra merupakan ilmu pengetahuan yang stabil dan mapan (a stable and fixed science). Ruhnya selalu sama di tiap ruang dan waktu, karena berasa dari Tuhan, sang Pengarang semua kebijaksanaan. Hanya hukumnya yang akan berubah sesuai dengan kebudayaan dan situasi di suatu tempat-waktu tertentu.

Habib menyimpulkan bahwa Boccacio berusaha memberikan beberapa poin definitif sastra berdasarkan pada asal dan fungsinya. (1) Boccacio mengutip Cicero dengan mengatakan bahwa sastra adalah seni yang berasal dari inspirasi, sehingga di dalamnya tak mungkin ada formula atau aturan yang saklek. Semangat dalam bersastra terdapat pada efeknya yang sublim. Ia memberikan penekanan lebih pada efek dari sastra, karena memang asal katanya, poetes (Yunani), berarti wacana yang elok. Ke-elok-an sastra terlihat dari kebiasaannya dalam menggunakan alegori untuk mengerudungi kebenaran. Sehingga, (2) sastra pada dasarnya adalah fiksi karena kebenaran harus ditutupi dengan segala alegorinya. Inilah kehebatan penyair: sastra dengan alegorinya menghasilkan (3) seni yang terbebas dari distraksi sekitarnya—baik kota, keriuhan pasar dengan segala ketamakannya, ataupun keramaian politik-pengadilan. Justru melalui poin alegori ini posisi sastra—dan penyairnya—bisa terbebas dari impitan ruang-waktu. Alegorinya bisa abadi digunakan.

Namun, Boccacio juga menekankan bahwa (4) penyair juga harus memiliki kemampuan (atau bakat) lebih. Menulis sastra bukan persoalan kecil, karena ini merupakan seni yang unik (unique art) yang berasal dari inspirasi. Menurut Boccacio, penyair tidak boleh hanya paham tata bahasa dan retorika. Ia juga harus paham prinsip-prinsip seni murni lain, baik secara moral maupun natural. Ia harus memiliki pengetahuan yang luas dan komprehensif; tidak hanya memahami karya-karya klasik, tetapi juga karya di seluruh dunia, sejarah bangsa tersebut, dan geografinya.[viii]

Dengan semua syarat itu, lantas apa yang ditakuti dari sastra sehingga membaca sastra dianggap berdosa?

Pada hakikatnya, ber-sastra adalah ber-fiksi. Akan tetapi, ber-sastra bukan berarti ber-bohong, dan penyair bukanlah pembohong. Penyair yang menggunakan fiksi sama dengan filsuf dengan teknik silogismenya. Ketidakjelasan dan ambiguitas yang hadir karena fiksi tersebut sama dengan karya-karya filsuf. Tujuan sastra bukan untuk membohongi, sehingga pengorbanan kebenaran literer memang sengaja dilakukan untuk mengekspresikan tingkatan makna yang lebih dalam.

Boccacio juga merumuskan klasifikasi karakteristik fiksi, yaitu: (1) seperti fabel (misalnya karya Aesop), fiksi yang di permukaannya sedikit sekali menampilkan kebenaran; (2) menyatukan kebenaran dan fiksi, biasa digunakan untuk menyelimuti pembatasan antara yang transenden (divine) dan manusiawi; (3) seperti pengisahan sejarah (misalnya Aeneid karya Vergil), makna di dalamnya bisa jauh berbeda dengan pemaknaan di muka; dan (4) fiksi yang tidak memberikan kebenaran sama sekali—Boccacio paling menentang bentuk fiksi ini.

Bila ada orang yang menentang tiga bentuk fiksi pertama, berarti orang tersebut juga menentang kitab Injil. Bukankah tiga bentuk ini sama dengan yang sering ada di kitab suci? Sehingga ketika filsafat dengan silogismenya bisa diakui oleh agama, maka sastra dengan fiksinya pun bukanlah hal dosa. “For while Philosophy is without question the keenest investigator of truth, Poetry is, obviously, its most faithful guardian, protecting it as she does beneath the veil of her art… She is Philosophy’s Maidservant.” [ix] Dalam kutipan tersebut, Boccacio menunjukkan bahwa sastra dan filsafat adalah tandem dalam menyampaikan kebenaran.

Boccacio sukses sebagai seorang pelindung puisi yang mengawali ‘terang’ untuk masa Pencerahan. Senjatanya berupa pengembalian kepercayaan pada sastra klasik serta pengangkatan peran retorika dan logika. Ia berhasil membangun relasi antara tradisi penulis-penulis pagan dengan suksesor mereka di era teologis.

Lalu, bagaimana misalnya dengan ramalan Jayabaya? Di hadapan agama, ya nasibnya sama seperti sastra yang dilindungi Boccacio. Jika menilai itu sebagai karya sastra, maka kita dapat menanggapi selayaknya Boccacio menempatkan karya retorika dalam pembahasan di atas.

 

Mengangkat Nama Sang Ratu

Ketika membicarakan masa transisi humanis ‘habis-gelap-terbitlah-terang’, Habib mengangkat penulis wanita yang paling diakui pada era Pertengahan di Eropa: Christine de Pisan (1365-1429). “Kartini” dari Prancis ini mengawali tradisi humanis di era Pertengahan dengan keberaniannya dalam mengkritik otoritas pria yang begitu kuat dalam tradisi penulisan. Ia mengajak berdebat tentang karya sastra melalui karya sastra dan demi masa depan karya sastra! Satu hal yang ia perdebatkan adalah logika femininitas yang dikonstruksi (selalu) oleh para pria dalam karya-karya sastra yang dilindungi oleh ajaran teologis.

Permasalahannya terletak pada penggambaran wanita yang licik dan hampir selalu negatif. Para filsuf dan penyair mengatakan bahwa sifat wanita sangat rendah dan hanya berisi kejahatan. Mereka menggambarkan wanita sebagai figur yang inkonsisten, tidak setia, genit, dan tamak. Menjanda sejak umur 25 tahun dan diharuskan membesarkan tiga anak seorang diri, De Pisan mengkritik gambaran tersebut dengan keras. Beruntung keluarganya memiliki relasi dengan pihak kerajaan, ia tidak kesulitan mendapatkan pendidikan tinggi dan mempelajari banyak hal yang nantinya akan ia kritik.

Kritik De Pisan terhadap para pemikir di masa-masa sebelumnya, dari masa pagan hingga melewati era Kristianitas, dituliskan dalam karyanya yang paling besar berjudul The Book of the City of Ladies (1405). Karya ini mendapat sejumlah pengaruh, seperti dari Boccacio melalui karya berjudul Concerning Famous Women (1361), pengajaran linguistik dan alegoris Quintilian, St. Agustinus (bukunya City of God ditiru De Pisan), Hugh St. Victor, maupun Dante. Sejalan dengan Boccacio yang menghadirkan kembali mitos-mitos lama, karya ini menggambarkan usaha De Pisan dalam menuliskan ulang sejarah wanita melalui penghadiran kembali nama-nama tokoh perempuan dalam sejarah, baik pemikir maupun tokoh mitologis. Ia menarungkan berbagai nama, yakni nama yang menggambarkan wanita secara negatif, dengan nama yang dijadikan alegori kebesaran posisi wanita.

Dalam karya ini, De Pisan menghadirkan percakapan dengan alegori Tiga Ratu: Ratu Nalar, Ratu Kejujuran, dan Ratu Keadilan.[x] Tiga Ratu itu meminta De Pisan untuk mendirikan Kota Para Wanita (City of Ladies) di atas ladang sastra (Field of Letters). Ratu mereka memilih De Pisan sebagai satu-satunya wanita yang pantas untuk membangun kota yang ditemboki bangunan berupa tulisan-tulisan. Dan harus melalui tulisan-tulisan itulah, wanita yang mereka anggap “memiliki cinta besar untuk menyelidiki kebenaran” ini membangun perlindungannya untuk wanita lainnya.

Ratu Nalar mengatakan bahwa De Pisan harus kritis dalam melihat karya pemikir-pemikir lama yang telah diakui. Walaupun karya-karya mereka diakui oleh pemikiran teologis—karena menggambarkan kebesaran Tuhan—para pemikir tersebut suka berdebat dan saling mengkritik satu sama lain. Karena itu, Ratu Nalar meminta De Pisan untuk tidak mempercayai karya-karya tersebut sebagai sebuah kebenaran tunggal. Ia membawa cermin sebagai pusakanya; siapa pun yang bercermin pada benda itu akan mendapatkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, tentang esensi, kualitas, proporsi, dan nilai-nilai berbagai hal. De Pisan diajak untuk melihat bahwa dirinya sendiri sebagai wanita tidaklah negatif seperti yang digambarkan sejarah. Pengetahuan yang didapatkan dari Ratu ini akan menjadi fondasi bagi pembangunan Kota Para Wanita.

Karena masih merasa inferior sebagai wanita, ratu kedua, yaitu Ratu Kejujuran, datang membawa pusakanya yang berwujud penggaris lurus. Kemampuan pusaka ini adalah memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan penggaris ini, De Pisan diminta untuk mendirikan tembok yang kuat dalam kerajaannya. Ketiga, Ratu Keadilan pun datang membawa pusaka berupa timbangan emas. Dengan pusaka ini, De Pisan memiliki kemampuan untuk membagi-bagi peran manusia (wanita) sesuai porsinya masing-masing, dan tidak lagi termakan inferioritas wanita-pria.

Dengan kemampuan yang diberikan ketiga ratu ini, De Pisan membangun City of Ladies sebagai City of Words, yaitu kota yang didirikan dengan kata-kata. De Pisan membangun kritiknya terhadap pemikiran-pemikiran terdahulu dengan cara menempatkan setiap nama sesuai porsi, posisi, dan nilai. Inilah alasan karya besarnya penuh dengan nama-nama dalam sejarah yang berhasil ia koordinasikan satu sama lain dalam posisi yang saling mengkritik.

Habib melihat bahwa cara De Pisan menuliskan karyanya mengacu pada kehadiran dan peran dari tiga Ratu tersebut. Nalar, Kejujuran, dan Keadilan itu sejalan dengan proyeksi ideal dari nilai-nilai humanis. Peran paling utama menjadi milik Ratu Nalar. Nalar adalah kekuatan utama dari tradisi humanis yang akan muncul kemudian, karena lebih mengutamakan independensi dalam berpikir dibanding keterjebakan dalam sebuah kepercayaan yang memberikan otoritas pada pemikiran. Kritik besar De Pisan pada ajaran teologis yang merasuki karya sastra, kuasa para pemikir pria, dan ketetapan psikologi manusia yang taken-for-granted, menempatkan signifikansinya sebagai jembatan antartradisi.

Tujuan Christine adalah menunjukkan kemampuan wanita dalam belajar; dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan menunjukkan kekayaan pengetahuan Christine sendiri—yang kemudian dalam karyanya dijembatani oleh alegori Tiga Ratu. Ia mengangkat kembali posisi wanita yang selama ini jatuh pada kuasa stereotip para pemikir pria. Posisinya sebagai jembatan antartradisi pun berhasil memosisikan kembali para penulis wanita yang selama ini juga tersingkirkan. Menariknya, De Pisan melakukan usahanya dengan cara yang sama seperti Boccacio: “defense and illustration of the vernacular”. Melalui jalan tersebut, De Pisan menyampaikan pembelaannya pada tradisi lama/lokal sebagai usaha untuk melindungi femininitas. Keduanya dianggap mengantisipasi awal pemikiran-pemikiran masa Pencerahan, yaitu bentuk tulisan yang menggabungkan rasionalisme dan pengalaman-pengalaman nyata di dunia.

Dengan asuhan dari Tiga Ratu, De Pisan tidak hanya membangun sebuah kota, tetapi sebuah karya abadi. Lalu, apakah kemampuan dan nilai yang dibawa Tiga Ratu hanya hadir pada masa De Pisan? Bagaimana dengan kisah wanita bernama Kartini yang juga melawan tradisi dalam tulisan-tulisannya? Yang pasti, inilah perintah Ratu Nalar:

“… Take the trowel of your pen and ready yourself to lay down bricks ….”[xi]

 

 

[i] Habib, M.A.R. A History of Literary Criticism: from Plato to present. (UK: Blackwell Publishing, 2005)

[ii] Poetry kini biasa diterjemahkan sebagai puisi, tetapi pada tulisan ini dimaknai sebagai ‘sastra’ karena memang pada masa ini belum ada kategorisasi genre sastra seperti yang dipahami sekarang.

[iii] Total ada 15 buku. 13 buku berisi kompilasi berbagai interpretasi alegoris atas mitologi klasik. Dua buku terakhir berisi argumen-argumen, baik yang mendukung atau melawan berbagai seni yang ada dari masa Plato. Rangkapan buku ini menjadi ensiklopedia lengkap bagi sastra dan kritik sastra sejak masa-masa sebelumnya. Melalui buku-buku ini, Boccacio tidak hanya memberikan sebuah tulisan tetapi juga memberikan pelatihan bagi sastra, yang keduanya sama-sama menunjukkan usaha untuk mempertahankan seni.

[iv] ibid. hlm. 216

[v] ibid.

[vi] ibid.

[vii] ibid.

[viii] ibid. hlm. 217

[ix] ibid. hlm. 219

[x] Habib mengatakan bahwa bentuk karya seperti ini jauh lebih awal mengantisipasi bentuk karya Virginia Woolf yang baru akan tercipta 600 tahun kemudian.

[xi] ibid.  hlm. 223