Sejak masa awal munculnya pembicaraan yang serius dan sistematis mengenai puisi (paling tidak dalam konteks kritik sastra Barat), serangan dan pembelaan atas puisi sudah langsung mengemuka.[i] Plato menyerang posisi sosial-politik, ketidakjelasan ranah, dan kandungan kebenaran puisi. Aristoteles mengajukan pembelajaran atas fungsi puisi dan mencoba mencari jalan tengah antara puisi-yang-partikular dan ide-yang-universal. Dalam konteks kedua pemikir Yunani tersebut, puisi dihadap-hadapkan dengan filsafat, juga sejarah (khususnya Aristoteles). Di masa-masa selanjutnya, perbandingan semacam itu terus berlangsung dengan nada dan konteks yang berbeda.
Salah satu risalah terpenting dalam riwayat pembelaan puisi di hadapan sejarah dan filsafat hadir pada kuartal terakhir abad ke-16, berjudul Apologie for Poetrie atau A Defence of Poetry (1580–1581). Karya Sir Philip Sidney ini bukan hanya mencoba mencari keutamaan puisi dibandingkan filsafat dan sejarah, yang perinciannya akan kita bahas nanti, tetapi juga merupakan bagian penting dalam sejarah pembentukan estetika sebagai domain yang mandiri sekaligus pengganti agama.
Sir Philip Sidney (30 November 1554–17 Oktober 1586) sering digambarkan sebagai contoh ‘manusia Pencerahan’. Ia berasal dari keluarga aristokrat, mendapat gelar kesatria, dan memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Bakatnya beragam, dari sastra hingga seluk-beluk kenegaraan dan militer.
Karya sastra pertamanya berjudul The Countess of Pembroke’s Arcadia (1581), sebuah roman pastoral yang terdiri dari lima ‘buku’ atau ‘adegan’, disusun berdasarkan dramaturgi klasik (eksposisi, aksi, komplikasi, kekalahan, dan resolusi atau catastrophe). Astrophil and Stella merupakan karya kedua Sir Philip Sidney dan dianggap sebagai himpunan soneta (sonnet cycle) orisinal dan terbaik dalam bahasa Inggris setelah soneta Shakespeare. Sedangkan A Defence of Poetry adalah sebuah risalah puitika yang penting pada masa terbitnya dan merupakan kritik sastra yang sangat berpengaruh pada masa-masa setelahnya.
Ide-ide dalam A Defence of Poetry susah dibilang orisinal, tetapi ia dianggap mampu menyatukan ke dalam bahasa Inggris berbagai perhatian dan fokus kritik sastra masa Renaisans dengan mengambil gagasan dari Aristoteles, Horace, hingga Boccaccio dan Julius Caesar Scalinger. Dalam membela puisi, Sir Philip Sidney menjabarkan posisi puisi di masanya, perbedaannya dengan filsafat dan sejarah, pandangannya mengenai imitasi, tujuan puisi, fungsi puisi, dan tentu saja, daftar serangan dan argumen pembelaan atas puisi.
Paspor Pengetahuan
Sidney mengawali tulisannya dengan mengamati bahwa puisi telah jatuh statusnya dari puncak capaian pembelajaran menjadi “bahan tertawaan anak-anak”. Padahal, menurut Sidney, puisi adalah bentuk pertama ekspresi pengetahuan, “pemberi cahaya pertama pada kebodohan”, sebagaimana yang ditunjukkan oleh para penyair sebelumnya seperti Musaeus, Homer, Hesiod, Livius, Ennius, Dane, Boccaccio, dan Petrarch. Dan para filsuf awal Yunani seperti Thales, Empedocles, Parmenides, dan Pythagoras mengekspresikan gagasannya menggunakan baris-baris sajak (verse). Bahkan Plato menggunakan perangkat puitis seperti dialog dan deskripsi setting untuk menghiasi filsafatnya.
Karena itulah, Sidney menyimpulkan bahwa “tidak ada filsuf dan sejarawan yang mampu memasuki gerbang penilaian populer jika mereka tidak memiliki paspor hebat bernama puisi”.[ii] Poinnya, prasyarat esensial pengetahuan adalah kesenangan belajar dan puisi telah membuat tiap ragam pengetahuan—ilmiah, moral, filosofis, politis—dapat diakses dalam bentuk yang menyenangkan.
Tuhan, Penyair, Alam
Argumen selanjutnya yang dipakai Sidney untuk menunjukkan keutamaan puisi diambil dari konsepsi Yunani dan Romawi mengenai puisi. Istilah yang dipakai Romawi untuk penyair adalah vates, yang berarti peramal atau nabi. Sidney menganggap istilah itu tepat dan beralasan. Ia mengambil contoh Mazmur Daud, yang baginya merupakan ramalan yang diekspresikan dengan cara puitis. Karenanya, puisi tidak pantas dicemooh dan tidak layak diusir keluar dari Gereja.
Definisi Yunani atas penyair lebih penting lagi bagi Sidney karena menyediakan akses ke dalam pandangannya mengenai hubungan antara puisi dan alam. Kata poet berasal dari bahasa Yunani poiein, yang berarti “membuat”. Sidney mendaftar ‘profesi’ atau ‘seni’ abad pertengahan (trivium dan quadrivium) dan menunjukkan bahwa disiplin-disiplin yang ada bergantung pada beberapa aspek dari alam. Astronom mengobservasi bintang yang ditata oleh alam; filsuf alam memeriksa alam fisik; filsuf moral mempertimbangkan nilai dan kebijaksanaan alam; ahli gramatika, retorika, dan logika mengeksplorasi tuturan, persuasi, dan nalar yang didasarkan pada alam. Namun, puisi berbeda. Puisi bebas dari ketertundukan atau ketergantungan pada alam. Alih-alih dibatasi oleh kompas sempit alam, penyair melakukan eksplorasi di dalam zodiak akal kebijaksanaannya (wit) sendiri.
Sidney menyatakan bahwa puisi memang tiruan atas alam, tetapi bukan sekedar tiruan. Dalam meniru, puisi tidak tunduk pada alam. Imitasi oleh Sidney dimaknai sebagai merepresentasikan, memalsukan, mencari tahu; atau dengan kata lain “berbicara secara metaforis”, yang tujuan akhirnya adalah mengajari dan memberi kesenangan.
Sidney mendaftar tiga jenis imitasi puitis. Pertama, imitasi atas kehebatan Tuhan yang tidak masuk akal atau susah dipercaya (seperti ditunjukkan dalam beberapa bagian Perjanjian Lama). Kedua, imitasi terkait subjek puisi, khususnya ketika subjek itu membicarakan filsafat, sejarah, dan sains. Dalam imitasi kedua ini, puisi banyak ditentukan oleh pengetahuan yang sudah dibangun dalam subjek yang dibahas alih-alih temuan penyair. Imitasi yang merupakan “temuan penyair” itulah jenis imitasi ketiga, jenis imitasi yang diusulkan oleh Sidney untuk memberi kebebasan kepada penyair. Dalam imitasi ini, penyair tidak bergantung pada hukum alam tetapi akal kebijaksanaannya sendiri, tidak dibatasi oleh kenyataan faktual tetapi mengejar apa yang mungkin atau sebaiknya terjadi.
Dengan begitu, penyair terbebas dari ketergantungan pada alam paling tidak dalam dua cara. Pertama, subjek yang diangkatnya tidak dibatasi oleh alam; dan kedua, imitasi yang dilakukannya sebenarnya tidak mereproduksi apa pun dari alam karena ia tidak berkepentingan untuk menghadirkan aktualitas tetapi kemungkinan dan situasi ideal.
Penciptaan atau produksi puisi oleh penyair ini kemudian ditempatkan sebagai kreativitas manusia dalam konteks teologis. Dalam hal mencipta, penyair merupakan tiruan dari Tuhan, the heavenly maker. Posisinya lebih rendah dari Tuhan, tetapi lebih tinggi dari alam—dengan alasan yang sudah dijabarkan di atas. Sidney menyatakan bahwa, karena dosa asal, manusia tidak bisa mencapai kesempurnaan Tuhan. Namun, puisi, dengan akal kebijaksanaannya (wit), memampukan kita melihat sekilas kesempurnaan itu.
Filsafat, Puisi, Sejarah
Bagi Sidney, tujuan puisi bersifat moral. Objek yang diajarkan dan dibuat menyenangkan dalam puisi adalah kebaikan. Dengan memberi kesenangan, penyair menggerakkan orang untuk menyambut kebaikan; dengan mengajari, penyair membuat orang tahu kebaikan. Dengan merumuskan tujuan seperti itu, tidak mengherankan jika Sidney menganggap rima dan bait sebagai ornamen, bukan pokok puisi.
Namun, tujuan moral semacam itu bukan cuma milik puisi, tetapi juga semua jenis ilmu yang dipelajari manusia. Jiwa manusia telah ternodai oleh kehidupan duniawi dan semua ilmu pengetahuan dibuat untuk mengangkat kita ke kesempurnaan. Memang setiap ilmu pengetahuan punya tujuannya masing-masing, tetapi semuanya punya tujuan akhir yang sama, yaitu mendorong manusia untuk bertindak baik (virtuous action).
Apa yang dinyatakan oleh Sidney itu khas Abad Pertengahan; kita bisa membaca konsep dan nada serupa dari Hugh of St. Victor, Geoffrey de Vinsauf, dll. Yang membuat Sidney lebih modern dan memiliki ciri Renaisans adalah upayanya untuk menempatkan puisi di puncak hierarki disiplin yang ada, khususnya di atas filsafat dan sejarah.
Ya, Sidney mengangkat tujuan puisi dan ilmu pengetahuan untuk menempatkan puisi di puncak hierarki. Pesaing utama penyair, kata Sidney, adalah filsuf moral dan sejarawan. Filsuf moral akan mengklaim bahwa jalan yang ditempuhnya untuk mencapai kebajikan adalah yang paling langsung karena dia mengajarkan nilai dan kebajikan, cara menguasai hasrat, dan cara meluaskan domain kebaikan ke dalam keluarga dan masyarakat. Sejarawan, di sisi lain, akan mengklaim bahwa filsuf mengajarkan kebajikan dengan menghadirkan banyak abstraksi, sedangkan mereka menawarkan contoh konkret atas nilai berdasarkan pengalaman dari berbagai zaman.
Sidney menyimpulkan bahwa filsafat memberikan aturan, sedangkan sejarah menghadirkan contoh. Keduanya sama-sama memiliki kekurangan. Filsuf menyampaikan aturan secara abstrak dan general dalam istilah-istilah yang sulit dipahami, sedangkan sejarah kurang memiliki daya generalisasi karena terikat bukan oleh apa yang seharusnya terjadi, tetapi oleh apa yang memang terjadi. Dengan kata lain, sejarah dibatasi oleh kebenaran partikular. Dan karena “terpenjara oleh kebenaran dari dunia yang bebal ini”, ia terikat untuk menyampaikan pelajaran yang seringnya negatif, misalnya menghadirkan riwayat orang jahat dalam mencapai kesuksesan dan kemakmuran.
Penyair hebat mampu memikul dua fungsi itu sekaligus. Ia menghadirkan gagasan umum dengan contoh khusus. Ia melukis sempurna pengetahuan mendalam filsuf dan menyajikannya dalam sebuah gambar yang oleh filsuf hanya disajikan dalam deskripsi kata-kata. Puisilah yang mampu menyentuh jiwa dan perasaan. Tanpa diterangi oleh fitur-fitur pelukisan yang dimiliki puisi, filsuf akan tetap berada dalam kegelapan. Puisilah yang menghidupkan nilai, kebajikan, dan semangat. Filsafat hanya dapat dibaca oleh segelintir orang berpendidikan, sedangkan puisi bisa menjangkau jauh lebih banyak khalayak. Dengan demikian, penyair merupakan seorang filsuf populer.
Mengutip Aristoteles, Sidney menyebutkan bahwa buah dari belajar dan pengajaran bukan hanya mengetahui, tetapi melakukan. Karena puisi memiliki kekuatan untuk memengaruhi dan menggerakkan orang, maka ia juga memiliki posisi lebih tinggi dari bentuk pengajaran yang sekadar mentransfer pengetahuan. Puisi menginspirasi orang untuk melakukan apa yang oleh filsafat hanya diajarkan dengan abstraksi.
Untuk menunjukkan superioritas puisi atas sejarah, Sidney lagi-lagi meminjam otoritas Aristoteles. Puisi dianggap lebih filosofis dan lebih serius daripada sejarah; puisi menghadirkan yang universal sedangkan sejarah yang partikular. Sejarah dibatasi oleh keharusan untuk menuliskan apa yang benar-benar terjadi, sedangkan puisi menghadirkan kemungkinan dan keniscayaan. Sejarawan hanya dapat menghadirkan kejadian nyata, sedangkan penyair dapat mencipta imitasinya sendiri, mempercantik dan membuatnya lebih menyenangkan dengan penanya.
Dari berbagai argumen pengangkatan puisi di atas, kita bisa melihat tiga fungsi puisi: mengajarkan kebajikan, menggerakkan orang untuk bertindak baik, dan menunjukkan kefanaan dunia. Penyair adalah sejarawan sekaligus filsuf moral, tetapi di atas semua itu, ia adalah pengkhotbah dan teolog.
Serangan dan tangkisan
Sidney mendaftar dan menanggapi paling tidak empat serangan terhadap puisi. Pertama, bahwa ada banyak pengetahuan lain yang lebih bermanfaat. Anugerah terbaik yang diberikan kepada manusia, kata Sidney, adalah oratio (tuturan) dan ratio (akal). Puisilah yang paling banyak memoles anugerah tuturan; ia menghasilkan kesenangan dengan kata-kata yang disusun secara cermat, dan karenanya mudah diingat. Karena pengetahuan bergantung pada ingatan, maka puisi punya pertalian erat dengan pengetahuan. Terlebih, puisi mengajarkan kebaikan dan menggerakkan manusia ke arah kebaikan. Karena itulah, tak ada pengetahuan yang lebih bermanfaat daripada puisi.
Kedua, bahwa puisi adalah induk dari kebohongan. Sidney memberikan tangkisan terkenal dengan menyatakan bahwa penyair tidak mengafirmasi apa pun, sehingga ia tidak pernah berbohong. Tidak seperti sejarawan, penyair tidak mengklaim bahwa ia sedang menyatakan kebenaran; apa yang ditulisnya bukan untuk menghadirkan kejadian aktual, tetapi kemungkinan dan keniscayaan. Penyair tidak menulis secara afirmatif, tetapi alegoris dan figuratif.
Serangan ketiga terkait dengan moral. Puisi dianggap menyalahgunakan akal kebijaksanaan, mendorong orang untuk bertindak asusila dan merayakan cinta yang penuh nafsu. Menurut Sidney, kesalahan mestinya diarahkan kepada penyair-penyair tertentu yang menyalahgunakan puisi, bukan puisi itu sendiri. Bukan puisi yang menyalahgunakan akal kebijaksanaan, tetapi manusialah yang menyalahgunakan puisi.
Serangan paling serius yang ditanggapi Sidney terkait dengan Plato yang mengusir puisi dari republik idealnya; beberapa orang mengklaim bahwa Plato, sebagai filsuf, merupakan musuh alami penyair. Sidney menilai bahwa Plato menentang penyalahgunaan puisi, bukan puisi itu sendiri. Plato menuduh para penyair di zamannya menyebarluaskan pandangan yang salah mengenai dewa-dewa, yang efeknya bisa merusak generasi muda. Sidney percaya bahwa bahaya semacam itu telah dihalau oleh agama Kristen. Ia juga mengutip dialog Plato dalam Ion yang memuji puisi, yang melihat puisi sebagai “daya ilahiah, jauh di atas akal kebijaksanaan manusia.” Selain itu, ia juga mendaftar banyak figur hebat yang mengagumi puisi, seperti Aristoteles, Alexander, Plutarch, dan Caesar.
Puisi dan Teologi
Seperti dapat kita lihat dalam paparan di atas, Sidney kerap mengaitkan pembahasannya tentang puisi dengan teologi Kristiani. Alkitab dan agama Kristen sering dipakai sebagai otoritas tertinggi yang dengannya puisi dibandingkan, utamanya untuk mengangkat nilai-nilai tertentu dari puisi. Namun, lebih jauh lagi kita bisa melihat bahwa dengan menempatkan puisi dalam konteks teologis semacam itu—
puisi memiliki daya ilahiah, dapat membuat orang melihat kesempurnaan Tuhan, berada di atas alam, lebih tinggi dari filsafat dan sejarah, mengajarkan kebajikan dan membawa orang ke arah kebajikan, ilmu ajar terbaik—puisi sedang dinominasikan sebagai pengganti teologi.
Kecenderungan itu dikuatkan dengan cara Sidney membicarakan puisi di bagian akhir dari bukunya. Perumpamaan dan diksi yang dipakai, seperti bahwa banyak misteri terdapat dalam puisi dan pikiran picik duniawi tidak akan mampu mengungkapnya, serupa dengan caranya membicarakan agama di bagian-bagian sebelumnya.
Sebuah langkah penting menuju humanisme sekuler.
________
[i] Kata puisi mewakili apa yang kita sekarang sebut sebut sastra; genre sastra yang kita ketahui sekarang—prosa, puisi, drama—merupakan produk Renaisans. Lih. http://mediasastra.net/nilai-kritik-sastra-kuno/
[ii] “Neither philosopher nor historiographer, could at the first have entered into the gates of popular judgments, if they had not taken a great passport of poetry.” (218).
Komentar Terbaru