Tag: Abad Pertengahan

Melindungi Sastra dan Sang Ratu

Kritik De Pisan terhadap para pemikir di masa-masa sebelumnya, dari masa pagan hingga melewati era Kristianitas, dituliskan dalam karyanya yang paling besar berjudul The Book of the City of Ladies (1405). Karya ini mendapat sejumlah pengaruh, seperti dari Boccacio melalui karya berjudul Concerning Famous Women (1361), pengajaran linguistik dan alegoris Quintilian, St. Agustinus (bukunya City of God ditiru De Pisan), Hugh St. Victor, maupun Dante. Sejalan dengan Boccacio yang menghadirkan kembali mitos-mitos lama, karya ini menggambarkan usaha De Pisan dalam menuliskan ulang sejarah wanita melalui penghadiran kembali nama-nama tokoh perempuan dalam sejarah, baik pemikir maupun tokoh mitologis. Ia menarungkan berbagai nama, yakni nama yang menggambarkan wanita secara negatif, dengan nama yang dijadikan alegori kebesaran posisi wanita.

Baca lebih lajut

Tradisi Kitab Suci dan Jalan Panjang Alegori

Oleh karena sastra membicarakan hal-hal yang “tidak riil” alias dibayangkan saja itu, sastra harus menggunakan peranti metafora pada ekspresi verbalnya. Lalu, apa bedanya dengan metafora yang juga digunakan dalam teks-teks kitab suci? Umberto Eco menjelaskan bahwa teks kitab suci mengandung “misteri” yang melampaui kapasitas pemahaman manusia, sehingga harus diekspresikan dengan metafora dan alegori. Sementara sastra—yang dalam hierarki pengetahuan versi Aquinas berada di posisi lebih rendah ketimbang kitab suci—justru perlu menggunakan metafora dan alegori karena “kekurangannya” dalam hal pengetahuan akan kebenaran.

Baca lebih lajut

Sastra dan Logika Ibnu Rushd

Dalam sanggahannya, Rushd antara lain meyakinkan bahwa teks kitab suci sebagai pedoman utama kebenaran agama tertuang dalam kualitas puitis dan retoris yang sangat tinggi, sementara filsafat merupakan jalan untuk mampu menghasilkan kebenaran yang rasional dan bisa diterima oleh akal pikiran manusia. Sehingga pemahaman rasional dan filosofis tersebut justru akan membantu kita dalam mengungkap dan menjelaskan kebenaran agama. Kesadaran akan kualitas teks kitab suci ini mengarahkan Rushd pada pentingnya kajian sastra demi menginterpretasinya dan menjelaskan kebenaran. Dalam konteks itulah gagasan kritis Aristoteles menjadi pijakan utama bagi kerja kritis Rushd.

Baca lebih lajut

Retorika Abad Pertengahan: Poetria Nova

Geoffrey de Vinsauf membuka pembahasan risalahnya dengan sebuah “catatan umum” yang sangat terkenal. Ia mengibaratkan penciptaan substansi atau pokok bahasan dalam puisi dengan pembangunan rumah. Orang yang akan membangun rumah tidak akan langsung membiarkan tangannya bertindak. “Tangan-pikiran membentuk keseluruhan rumah sebelum tangan-tubuh membangunnya. Mode mengada penciptaan awalnya arketipal, baru kemudian aktual.”

Baca lebih lajut

Vernakularisme dan Alegori Dante Alighieri

Upaya Dante “melahirkan” bahasa vernakular yang layak menempati posisi luhur dalam penulisan sastra ini terasa seperti mimikri terhadap tradisi klasik. Yang coba ditirunya meliputi elemen tema, struktur atau bentuk karya, gramatika, hingga sifat elitisnya. Meski demikian, hal penting yang patut dihargai dari argumen Dante adalah imajinasinya yang begitu kuat, sehingga mampu membayangkan lahirnya gramatika bahasa vernakular, walaupun secara rasional kondisi bahasa itu sendiri masih sangat terbatas.

Baca lebih lajut

Tulang Punggung Budaya Literasi

Secara umum, ada empat dimensi interpretatif dari praktik gramatika. Lectio, atau membaca, adalah prinsip-prinsip ilmu persajakan dan membaca lantang (di depan publik); enarratio, atau eksposisi, merupakan penjelasan isi dan prinsip interpretasi; emendatio, atau koreksi, adalah aturan mengenai ketepatan linguistik dan autentisitas tekstual; dan iucidium, atau penilaian, merupakan kritik atau evaluasi atas teks. Dari empat dimensi ini saja, kita sudah langsung bisa melihat luasnya cakupan praktik gramatika pada Abad Pertengahan.

Baca lebih lajut

Alegori dan Tanda Ilahiah St. Agustinus

Perlu disadari, rekonsiliasi ini membuktikan bahwa Abad Pertengahan tidak sepenuhnya tenggelam dalam nada-nada religius (meski tidak dimungkiri itulah yang jadi ciri dominannya). Konsep alegori St. Agustinus memberikan ruang pada akal (reason) untuk dapat “mencampuri” urusan-urusan spiritual yang biasanya diasumsikan berada di luar kemampuan nalar akal manusia. St. Agustinus dengan jelas menyatakan bahwa akal bukan diberikan pada manusia tanpa tujuan. Justru berfaedah untuk membantu memahami suatu perwujudan dan mengaitkannya dengan the divine beauty. Di sanalah manfaat dan fungsi akal yang paling mujarab.

Baca lebih lajut
Pemuatan