Tag: Aristoteles

Tradisi Kitab Suci dan Jalan Panjang Alegori

Oleh karena sastra membicarakan hal-hal yang “tidak riil” alias dibayangkan saja itu, sastra harus menggunakan peranti metafora pada ekspresi verbalnya. Lalu, apa bedanya dengan metafora yang juga digunakan dalam teks-teks kitab suci? Umberto Eco menjelaskan bahwa teks kitab suci mengandung “misteri” yang melampaui kapasitas pemahaman manusia, sehingga harus diekspresikan dengan metafora dan alegori. Sementara sastra—yang dalam hierarki pengetahuan versi Aquinas berada di posisi lebih rendah ketimbang kitab suci—justru perlu menggunakan metafora dan alegori karena “kekurangannya” dalam hal pengetahuan akan kebenaran.

Baca lebih lajut

Sastra dan Logika Ibnu Rushd

Dalam sanggahannya, Rushd antara lain meyakinkan bahwa teks kitab suci sebagai pedoman utama kebenaran agama tertuang dalam kualitas puitis dan retoris yang sangat tinggi, sementara filsafat merupakan jalan untuk mampu menghasilkan kebenaran yang rasional dan bisa diterima oleh akal pikiran manusia. Sehingga pemahaman rasional dan filosofis tersebut justru akan membantu kita dalam mengungkap dan menjelaskan kebenaran agama. Kesadaran akan kualitas teks kitab suci ini mengarahkan Rushd pada pentingnya kajian sastra demi menginterpretasinya dan menjelaskan kebenaran. Dalam konteks itulah gagasan kritis Aristoteles menjadi pijakan utama bagi kerja kritis Rushd.

Baca lebih lajut

Tradisi Retorika Yunani: Kisah Bentuk Berbicara yang Abadi

Yang menarik dan harus dicatat, pada masa itu retorika masih digolongkan menjadi sebuah seni yang berdiri sendiri dan memiliki aturan-aturannya sendiri. Sebagai sebuah seni, para pengajarnya, atau yang disebut sophist, memberikan aturan-aturan penting seperti: pengaturan konten, pengaturan wicara-teks yang teratur, gaya (penggunaan bentuk kiasan atau metafora), kemudahan untuk diingat, dan cara penyampaian. Peran para sophist ini menjadi penting seiring dengan vitalnya retorika bagi legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, retorika menjadi instrumen untuk memberikan definisi kebenaran, kepribadian, dan moralitas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat oleh penguasa.

Baca lebih lajut

Jalan Tengah Aristoteles

Pengaruh besar Aristoteles tersebut tentunya turut membangun tradisi kritik sastra pada masanya. Dengan adanya standar-standar (baik-buruk) yang disusun oleh Aristoteles, dimungkinkan adanya metode kritik yang lebih evaluatif atas karya sastra. Tidak hanya semata-mata menilai karya itu memiliki fungsi didaktis atau tidak, seperti yang dilakukan Plato. Rumusan standar penilaian oleh Aristoteles itu membuka peluang untuk menciptakan kritik yang lebih terukur dan punya dasar yang jelas.

Baca lebih lajut
Pemuatan