Gelombang vernakularisme yang disebut-sebut diawali oleh Dante pada masa Abad Pertengahan punya efek besar yang langgeng melampaui zaman. Semangat “lokalitas” yang dipantik Dante dari Italia menular ke sejumlah negara lain di sekitarnya. Pertama-tama, gerakan besar ini memang terkait erat dengan sentimen nasionalisme. Dua pemikir yang gagasannya dirangkum secara singkat dalam tulisan ini adalah duo penyair yang mengusung semangat serupa dalam konteks Prancis.

Mereka adalah Joachim Du Bellay dan Pierre de Ronsard. Keduanya adalah mahasiswa College de Coqueret, Paris, dengan mentor bernama Jean Dorat. Di kampus itu, Dorat, dan beberapa murid lain termasuk Du Bellay dan Ronsard, membentuk sebuah geng beranggotakan tujuh penyair Renaisans asal Prancis yang diberi nama La Pleiade. Kelompok ini secara intensif mempelajari karya sastra Yunani dan Latin, serta mendedikasikan diri untuk memajukan sastra dan bahasa Prancis berdasarkan imitasi dan adaptasi yang klasik.

Sebab mengawali perjalanan dan berdinamika dalam kelompok yang sama, Du Bellay dan Ronsard cenderung selaras dalam ide-idenya tentang upaya mendongkrak bahasa dan sastra Prancis, yang kala itu masih inferior di hadapan bahasa Latin dan karya sastra Yunani. Latin adalah bahasa intelektual; sementara Yunani adalah kiblat estetika klasik (kemudian ditiru dan diteruskan oleh Romawi).

Du Bellay mengutarakan kritik yang amat politis mengenai alasan karya klasik Yunani dan bahasa Latin mendominasi banyak wilayah pada masa itu, termasuk Prancis, tempat ia bernaung. Ia menyoroti pelabelan bahasa Prancis sebagai bahasa ‘barbar’ yang secara sepihak disematkan oleh bangsa Yunani. Bagi Du Bellay, hal itu menunjukkan tak lebih dari arogansi bangsa Yunani yang hanya memuja karyanya sendiri, sementara mereka sebenarnya tidak punya legitimasi apa pun untuk menjelek-jelekkan produk kebudayaan lain. Selain itu, ia dengan mantap menuding imperialisme Romawi sebagai faktor lain yang semakin merendahkan posisi bahasa Prancis, salah satunya lewat historiografi. Sebagai pemegang kekuasaan dominan pada masa itu, bangsa Romawi dengan timpang menulis kisah mereka sendiri sebagai sesuatu yang mesti diingat dan dirayakan terus-menerus. Setidaknya kedua hal ini, membuat bahasa dan karya sastra Prancis selalu dipojokkan sebagai produk populer.

Du Bellay menekankan bahwa bahasa (juga sastra, dan kebudayaan secara luas) adalah produk dari “hasrat dan kehendak manusia”, dilahirkan oleh kecerdasan dan aktivitas kerja manusia[i], bukan bawaan alam. Dengan landasan ini, Du Bellay juga melayangkan kritik tajam kepada para bangsawan Prancis terdahulu yang dianggapnya menyepelekan dinamika bahasa dan kesenian, dan malah lebih sibuk mengurusi kehidupan ningrat. Pendapatnya ini menunjukkan bahwa pertama-tama, untuk mengembangkan bahasa, perjuangan yang dibutuhkan adalah perjuangan politik atau kekuasaan.

 

Amati, Tiru, Modifikasi

Premis gagasan Du Bellay dan Ronsard sederhana: untuk melampaui, seseorang harus memahami benar apa yang ingin dilampaui. Itulah sebabnya, kelompok penyair mereka mendalami karya-karya klasik yang ditulis dalam bahasa intelektual. Dari sanalah, penyair gelombang baru dapat belajar, meniru, memodifikasi, dan mencipta karya yang autentik dari mereka sendiri.

Dalam beberapa aspek, gagasan Du Bellay dan Ronsard dapat dikatakan cukup konservatif dan tradisional, sebab mereka selalu mengarahkan para penyair muda untuk bercermin pada yang klasik. Hanya saja, mereka menekankan bahwa mempelajari klasik dengan serius hingga mafhum bukanlah ditujukan untuk meniru mentah-mentah semua elemen estetikanya. Klasik mesti diposisikan sebagai kolam abadi inspirasi. Tugas utama penyair adalah “bekerja” melahirkan sesuatu yang akan mengembangkan bahasa vernakular mereka masing-masing.

Jika Du Bellay menggunakan kritik politik untuk menyoroti akar masalah ketidakmajuan bahasa Prancis, ia beralih memanfaatkan kerangka retorika untuk menunjukkan bagaimana cara memajukannya. Ia menyebut ada lima kecakapan (offices) retorika yang perlu diperhatikan: penciptaan (invention), kefasihan (elocution), susunan (arrangement), memori (memory), dan pengucapan (pronunciation). Ketiga kecakapan terakhir—yang disebutkan sambil lalu oleh Habib dalam bahasan tenang Du Bellay—bergantung pada tiap-tiap penutur dan situasi mereka. Salah satu perhatian utama Du Bellay ditujukan pada penciptaan. Untuk dapat mencipta sesuatu yang baru dan berkontribusi pada pengembangan bahasa Prancis, para penyair mesti memahami benar bahasa yang jadi sumber inspirasinya: klasik Yunani, yang kemudian dilanjutkan oleh Romawi. Setelah menguasainya dengan sungguh-sungguh, barulah seseorang dapat dengan percaya diri membicarakan pengetahuan itu dan melahirkan yang baru. Aspek ini dikaitkan Du Bellay dengan kerja penerjemahan. Penerjemahan dianggapnya sebagai kerja terhormat yang membuktikan bahwa bahasa Prancis tidaklah impoten, toh banyak teks dari berbagai disiplin bisa diterjemahkan dengan baik ke bahasa Prancis.

Dengan dorongan yang sama untuk berkiblat pada klasik, Pierre de Ronsard menyusun serangkaian nasihat serupa untuk para penyair muda Prancis. Menariknya, Ronsard menggarisbawahi bahwa kemampuan dalam bersastra bukanlah sesuatu yang diajarkan dengan ketat, melainkan sesuatu yang hanya bisa diperoleh melalui “mengalami hidup”. Mereka mesti memiliki pengalaman langsung dengan aktivitas hidup manusia dan mengalami intensitas di dalamnya. Dengan pengalaman itu, penyair akan mampu “menampung banyak inspirasi yang hidup dan baik demi memperkaya dan memperindah karyanya”.

Dalam ulasan Habib[ii], imbauan Ronsard untuk mengalami intensitas duniawi ini diimbangi dengan kecenderungan Neo-Platonisnya yang meletakkan teologi sebagai disiplin puncak. Selaras dengan semangat rekonsiliasi antara tradisi klasik Yunani Pagan dan tradisi Kristen, Ronsard menempatkan karya klasik sebagai alegori yang ilahi: kebenaran sejati diungkapkan melalui keindahan yang duniawi. Ia melihat bahwa sastrawan, atau seniman secara luas, punya peran kenabian. Tugas kenabian ini dilakukan dengan menyampaikan pesan-pesan ilahi dan menerjemahkannya ke dalam idiom yang lazim dipahami manusia. Namun, berbeda dari pemikir Abad Pertengahan, Ronsard berada di arus kepenyairan yang memberi penekanan lebih pada kerja manusia alih-alih inspirasi ilahiah. Di sanalah persisnya intensitas dalam hidup jadi sumber inspirasi. Terlebih lagi, intensitas itu tidak boleh mentah. Percikan teologis muncul lagi di titik ini. Ronsard mengatakan bahwa Inspirasi (dengan I besar) tidak mau hadir dalam jiwa kecuali jiwa itu bersih dan suci.

Nasihat Ronsard lainnya terdengar lebih duniawi. Penyair mesti belajar dari karya penyair hebat sebelumnya. Mereka harus menyediakan diri untuk bertukar pengalaman dan kritik dengan para rekan penyairnya demi meningkatkan kualitas karya, serta melahirkan karya yang sesuai dengan kaidah sastra Prancis (ingat bahwa generasinya tengah berusaha memajukan bahasa vernakular).  Ronsard juga menyebutkan bahwa bahasa sastra tidaklah boleh terkungkung dalam batasan (dalam konteks zaman itu, batasan dapat berupa arahan dari patron atau idiom yang digunakan para bangsawan). Agar bahasa tumbuh dan makin kaya, para penyair mesti melakukan apropriasi dari berbagai dialek yang ada di wilayah mereka dan menyusunnya dalam karya.

Elemen estetika karya dalam perspektif Ronsard meliputi penciptaan (invention), disposisi (disposition), susunan (arrangement), dan kefasihan (elocution/style). Kerja kepenyairan melibatkan tiga aspek, yakni meniru, mencipta, dan merepresentasikan hal-hal yang merupakan, atau mirip dengan, kebenaran. Maka, penyair dapat memilih di antara dua mode produksi: pertama, meniru dan merepresentasikan realitas; atau kedua, menciptakan hal baru yang mirip dengan realitas itu Dalam mode kedua ditunjukkan bahwa penyair tidak harus terikat pada dunia dengan realitas tertentu, mereka juga bisa menghadirkan “yang mungkin”. Mode ini mencerminkan semangat Aristotelian. Aspek keindahan karya lainnya ditentukan oleh disposisi dan susunannya. Dalam hal ini, kedua aspek tersebut berarti cara penyair menyusun berbagai elemen dalam karyanya berdasarkan standar dari kajian estetika. Sementara elemen terakhir membicarakan keindahan kata-kata yang digunakan dalam karya (elocution).

Kerja Du Bellay dan Ronsard dalam upaya memajukan bahasa vernakular mereka menunjukkan bahwa bahasa memainkan peran penting dalam kehidupan politik bangsanya. Inferioritas Prancis di hadapan Yunani klasik dan Romawi dapat diredakan salah satunya dengan punya kedaulatan untuk menggunakan bahasa vernakular mereka sendiri dan melahirkan karya-karya besar dalam bahasa itu. Dengan demikian, mereka bisa punya pengaruh yang besar pula dalam medan politik dan kebudayaannya.

 

[i] “artifice and industry of men” Lih., Habib, 2005: 255.

[ii] Tulisan ini disarikan dari penjabaran M.A.R. Habib mengenai Joachim Du Bellay dan Pierre de Ronsard.