Istilah Renaisans awalnya dikemukakan dan dipromosikan oleh para humanis Italia yang mencoba menandai periode mereka sebagai pewaris humanis klasik (Yunani dan Romawi) setelah masa panjang dominasi takhayul dan stagnansi Abad Gelap atau Abad Pertengahan. Namun, dari penelusuran sejarawan yang lebih terkini, pemisahan yang tegas antara Abad Gelap dan Renaisans tidak begitu saja bisa dilakukan. Pemikiran dan ide kaum humanis dan skolastik saling beririsan dan pengaruh kaum skolastik terus berlangsung hingga kini. Pun demikian, istilah Renaisans tetap bisa dipakai sebagai penanda penting dalam pergeseran tekanan intelektual dari “dunia atas” ke “dunia fana” atau dari yang “universal” ke “partikular”.

Dalam konteks bahasa, akhir Abad Pertengahan dan Modern Awal ditandai dengan gugatan atas dominasi bahasa Latin dan pembelaan atas bahasa-bahasa vernakular, termasuk di antaranya bahasa Italia, bahasa Inggris, dan bahasa Prancis. Gabungan antara “kembali ke klasik” dan “bahasa vernakular” melahirkan corak pemikiran dan kritik sastra yang khas, yang bisa kita lihat dari karya Dante Alighieri, Giambattista Giraldi, Lodovico Castelvetro, Giacopo Mazzoni, dan Torquato Tasso di Italia; Joachim Du Bellay dan Pierre de Ronsard di Prancis; dan Sir Philip Sidney, George Gascoigne[i], dan George Puttenham di Inggris.

Selama Renaisans, retorika—atau setidaknya teori retorika—mendapatkan posisi penting dalam institusi pendidikan. Banyak mengambil ide dari karya-karya akhir Quintilian dan Cicero, para penulis Renaisans fokus pada strategi penemuan, baru kemudian gaya. Fokus ini terkait erat dengan upaya mempromosikan bahasa vernakular. Di sisi lain, domain retorika[ii] dan puitika[iii] di masa ini cenderung tumpang tindih; banyak penulis mengambil inspirasi dari karya-karya retorika klasik dan menggabungkannya dengan wawasan puitika Aristoteles. Kita bisa melihat kecenderungan itu dari, misalnya, Sir Philip Sidney yang menekankan formula retorika Horace sekaligus meminjam otoritas puitika Aristoteles.

Esai ini akan membahas ringkas risalah yang dianggap ditulis oleh George Puttenham, salah satu kritikus awal sastra Inggris, berjudul The Arte of English Poesie, dalam konteks seperti dijabarkan di atas.

The Arte diterbitkan secara anonim pada tahun 1589, delapan tahun setelah Apologie for Poetrie­­nya Sidney. Risalah ini hadir dalam periode awal kritik sastra Inggris yang banyak mengetengahkan (a) kontroversi atas penggunaan bahasa, misalnya hasrat untuk mengimpor istilah dari bahasa lain seperti Latin dan Yunani, dan (b) munculnya persepsi mengenai fitur-fitur tertentu dari sajak berbahasa Inggris, seperti penekanan suku kata.

Karya ini bisa dianggap sebagai bagian dari tradisi panjang risalah retorika dan puitika, yang membentang dari karya klasik Rhetorica ad Herennium, Oratorio Institutio, Poetria Nova, The Art of Versification, hingga Il Convivio. Tujuan ditulisnya risalah ini serupa dengan tujuan Dante dan Joachim Du Bellay: menyuguhkan alasan penggunaan bahasa vernakular untuk menulis puisi. Secara khusus, The Arte mencoba membangun posisi puisi berbahasa Inggris sebagai sebuah seni, yang berarti membutuhkan upaya dan studi yang serius.

The Arte sangat berpengaruh pada masa terbitnya, dan pengaruhnya terus berlangsung hingga abad ke-17; di masa terkini, beberapa istilah dan insight-nya muncul kembali dalam studi New Historicism. Risalah ini tidak hanya berkontribusi pada ide mengenai bahasa Inggris “standar” tetapi juga menanamkan fondasi terminologi dalam kritik sastra Inggris periode modern awal, seperti ode, lyric, dan epigrammatist. Dengan kata lain, The Arte membantu membangun istilah dan metode kritik sastra Inggris.

Risalah The Arte dibagi menjadi tiga buku atau bagian. Bagian pertama mencoba menunjukkan bahwa puisi mampu mengekspresikan kebutuhan individu dan masyarakat; bagian kedua, “Of Proportion”, menelisik keterampilan berpuisi; dan yang ketiga, “Of Ornament”, menawarkan penamaan ulang majas dan kiasan dari retorika klasik.

Di awal risalah, Puttenham mendefinisikan penyair sebagai “pembuat” sekaligus “peniru”; dari pikirannya sendiri, seorang penyair mampu mencipta substansi dan bentuk puisi dan karenanya, seperti Sidney, ia berpendapat bahwa puisi menempati posisi tertinggi dibandingkan seni dan sains lain. Namun, tidak seperti Sidney, Puttenham menganggap bahwa puisi tidak hanya berbicara tentang yang ideal, tetapi ia juga bisa dipakai untuk mengekspresikan secara “benar dan hidup” apa pun yang ada di hadapannya.

Seni merupakan tatanan tertentu dari aturan yang dirumuskan oleh akal dan dikumpulkan dari pengalaman. Meski bahasa Inggris tidak memiliki kekuatan metriks puisi klasik yang didasarkan pada feet (kelompok suku kata yang membentuk unit metriks), tetapi kekurangan itu ditebus dengan kekayaan rima dan melodi. Karena itulah puisi berbahasa Inggris, kata Puttenham, bisa dikategorikan sebagai seni, sama seperti puisi berbahasa Latin atau Yunani.

Sama seperti Sidney, Puttenham juga memandang, dan mengecam, jatuhnya posisi puisi di tengah kesibukan sehari-hari orang di “era kejam dan licik”[iv], di mana energi penguasa dan orang biasa sama-sama dicurahkan pada urusan imperium dan ambisi. Tidak ada waktu luang untuk mempelajari seni alam dan doktrin moral, yang dengannya pikiran yang kacau dapat ditenangkan. Pendapat ini mirip dengan, dan mengantisipasi, pernyataan penyair dan kritikus Inggris abad ke-19 Matthew Arnold yang menekankan fungsi puisi sebagai obat bagi peradaban modern yang mekanis.

Buku kedua Puttenham merupakan survei dan analisis atas bait, meter (ritme puisi), rima, pola rima, serta menawarkan nasihat penggunaan perangkat-perangkat linguistik itu dalam membuat puisi berbahasa Inggris. Ia melihat baris sajak bahasa Inggris didasarkan pada ritme dan rima. Dan menurut Puttenham, rima-lah yang berkontribusi banyak pada penciptaan efek musikalnya. Ia juga mengetengahkan fungsi penekanan (stress) dalam sajak berbahasa Inggris. Mungkin poin paling penting dalam bagian ini adalah bahwa Puttenham memformalkan dan mengklasifikasi beragam ritme puisi yang hingga kini masih dipakai. Dengan demikian, kita bisa bilang bahwa The Art merupakan teori prosodi pertama dalam bahasa Inggris.

Buku ketiga The Arte, Of Ornament”, membicarakan bahasa untuk digunakan oleh penyair. Bagian ini pada dasarnya merupakan manual retorika, yang bisa dianggap sebagai refleksi atas perhatian humanisme pada bahasa dan retorika. Di bagian ini kita bisa melihat penekanan yang berbeda atas fungsi puisi dari tradisi Horatian—keseimbangan antara berguna dan menyenangkan. Puttenham menekankan fungsi memberi kenikmatan, baik pada telinga maupun pikiran; dan fungsi ini akan hadir dari cara ungkap yang baru. Bagi Puttenham, kualitas terbaik penyair ada dalam kemahiran menggunakan majas.

Lebih jauh tentang majas, dalam bab “Of Figures”, Puttenham menunjukkan bahwa setiap majas memiliki dualitas intrinsik karena ia melampaui tuturan biasa. Metafora, misalnya, merupakan “an inversion of sense by transport” dan alegori mengandung “a duplicitie of meaning or dissimulation under covert and dark intendments”. Karena itulah majas rawan disalahgunakan. Di tangan penyairlah, yang tujuan menciptanya adalah untuk memberi kesenangan, niat tersembunyi yang hadir dalam majas bukanlah vice tapi virtue. Di bagian ini pula Puttenham menamai ulang beragam majas, yang utamanya diambil dari tradisi klasik, dalam bahasa Inggris.

Meski esai Puttenham diakui sebagai upaya penting dalam mengangkat puisi berbahasa Inggris, perlu diperhatikan bahwa bahasa Inggris yang dipromosikan oleh Puttenham bukanlah bahasa Inggris yang dipakai oleh khalayak umum. Ia mengatakan bahwa bahasa Inggris yang mestinya digunakan oleh penyair adalah bahasa Inggris yang natural, murni, dan paling umum digunakan di seluruh negeri. Namun, “paling umum” di sini dimaknai sebagai bahasa yang dipakai di istana kerajaan, kota-kota, dan oleh orang yang berperilaku baik dan beradab; bukan oleh orang-orang miskin desa atau orang yang tidak beradab, atau orang-orang di universitas yang sok-sokan dalam berbahasa. Selain itu, bahasa Inggris yang dipromosikannya juga bersifat geografis. Ia tidak menyarankan penyair untuk menggunakan bahasa Inggris yang dipakai di utara Sungai Trent karena “it is not so Courtly nor so currant as our Southerne English is.” Terakhir, ia juga tidak menyarankan penggunaan inkhorn termes, kata-kata serapan dari bahasa Yunani dan Latin yang diimpor oleh pedagang dan pelancong. Namun, ia pun mengakui beberapa kata impor seperti significative, figurative, dan penetrate tidak bisa lagi digantikan dalam bahasa Inggris.[v]

Puttenham melihat gramatika, retorika, dan logika sebagai formalisasi atas kemampuan alamiah, sebuah formalisasi yang dilakukan dengan observasi serius dan praktik. Hubungan antara penyair dan alam melingkupi semua kemungkinan, yakni menggabungkan intuisi, penambahan, dan penemuan. Seperti Sidney, khususnya dalam hal penemuan, Puttenham memandang bahwa puisi menempati posisi unik di antara teknik atau seni lain karena ia dimampukan oleh “fantasi dan imajinasi yang jernih dan terang”. Penyair, kata Puttenham, akan dikagumi saat karyanya bersifat natural dan tidak dibuat-buat.

Secara umum, The Arte of English Poesie merepresentasikan tahap penting perkembangan kritik sastra Inggris, mengantisipasi reaksi Romantisisme atas neoklasik—yang akan kita bahas di bagian selanjutnya—dengan penekanan pada kenikmatan alih-alih instruksi moral. Penekanan ini, meski tidak dibangun dengan rumusan ketat, merupakan cikal-bakal penting dalam upaya menuju otonomi puisi.

________________

[i] George Gascoigne dianggap sebagai penulis esai kritik sastra pertama dalam bahasa Inggris dengan risalah berjudul “Certayne Notes of Instruction concerning the making of verse or ryme in English.” Esai ini muncul dalam kumpulan karyanya The Posies of George Gascoigne, Esquire, corrected, perfected, and augmented by the author (1575). Certayne Notes merupakan manual yang menawarkan nasihat kepada calon penyair tentang masalah-masalah retorika dalam penciptaan puisi, seperti penemuan, prosodi, bentuk sajak, dan gaya. Fitur komposisi puitis yang ditekankan Gascoigne adalah apa yang disebutnya sebagai fine invention, yakni penemuan atas tema dan material yang tepat.

[ii] Retorika adalah seni menulis dan berbicara secara efektif dan/atau persuasif dengan memaksimalkan penggunaan kiasan dan teknik-teknik komposisi lainnya. Retorika merupakan seni atau teknik yang penting pada masa kuno (Yunani dan Romawi) dan menjadi bagian penting dari Pendidikan di Abad Pertengahan. Kita akan dengan mudah mendapatkan penjabaran mengenai unsur-unsur retorika dari para pemikir masa kuno hingga Abad Pertengahan. Penekanan kejujuran pada Romantisisme memupus gengsi retorika dan karenanya di masa modern kita mendapatkan makna peyoratifnya sebagai tulisan atau pidato kosong yang indah, bagus, atau persuasif.

[iii] Puitika adalah seni menulis puisi. Lebih khusus lagi, puitika merupakan (a) prinsip-prinsip umum puisi atau sastra atau (b) studi mengenai prinsip-prinsip tersebut. Puitika fokus pada fitur-fitur pembeda dari puisi (atau sastra secara keseluruhan), bahasa yang dipakai dalam puisi atau sastra, bentuk, genre, dan mode komposisinya.

[iv] Dalam kata-kata Puttenham sendiri, “iron & malicious age”.

[v] Kecenderungan elitisme seperti ini lazim terjadi. Kita bisa melihatnya dari tulisan Dante untuk konteks Italia. Di Indonesia, bahasa yang dipromosikan oleh Balai Pustaka dan dipakai dalam Sumpah Pemuda adalah bahasa Melayu Tinggi atau Melayu Sekolahan, bukan Melayu Pasar yang lebih banyak dipakai orang. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya (a) para promotor bahasa itu merupakan bagian dari kaum elite pengguna bahasa tertentu yang sedang dipromosikan, dan (b) bahasa elite, yang dipakai segelintir orang, lebih seragam daripada bahasa khalayak yang sangat beragam sehingga lebih mudah untuk dikodifikasi.