Dalam berbagai perbincangan seputar sastra dan agama (Islam, Katolik dan Kristen), kita mungkin sering mendengar ungkapan bahwa sebaik-baik karya sastra di sepanjang sejarah dunia ini tak lain adalah kitab suci. Bagi para frater atau santri, ungkapan ini pastilah bukan hal baru, meskipun sering kali hanya hadir sebagai hal yang tak terjelaskan. Oleh karena itu, wajar jika orang di luar kedua kalangan itu mempertanyakan, apakah ungkapan tersebut bisa dicari pertanggungjawabannya ataukah cukup dipandang sebagai hasil ekspresi dari doktrin keimanan saja? Untuk menjawabnya kita akan kembali kepada tradisi pemikiran sastra Abad Pertengahan, khususnya terkait hubungan sastra dan logika—salah satu dari tiga cabang keilmuan (trivium) selain gramatika dan retorika. Bukan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan, namun untuk menelusuri sejauh mana ungkapan tersebut memiliki akar dan tradisinya sendiri dalam sejarah keilmuan.
Hubungan antara sastra dan logika di masa Pertengahan terjalin dalam tradisi pemikiran yang dikenal sebagai Skolastisisme, yang mengusung visi menyintesis berbagai cabang pemikiran secara sistematis dan hierarkis, dan menempatkan teologi sebagai puncaknya. Skolastisisme ini muncul pada abad-12, namun fondasinya telah terbangun sejak beberapa tradisi pemikiran sebelumnya. Pertama: Tradisi ortodoksi Kristen yang didefinisikan oleh dewan Konsili, seperti beberapa Konsili Nicea. Kedua: Pengaruh filsuf patristik, terutama Santo Agustinus yang memadukan filsafat Neo-Platonik, sastra, dan Kristianitas, sebagai landasan dari ajakannya untuk membaca teks kitab suci sebagai bahasa kiasan. Namun, sejak diterjemahkan dan ditularkannya karya Aristoteles pada abad 12-13 oleh filsuf Islam seperti Ibnu Rushd dan Ibnu Sina, maka gagasan-gagasan Aristoteles dijadikan sebagai landasan bagi Skolastisisme, menggantikan Plato. Ketiga: Tradisi penalaran dialektis dan silogisme, dengan metode pengajaran lectio dan disputatio yang menekankan argumentasi melalui silogisme. Dan keempat: Dipengaruhi juga oleh isu-isu pemikiran tentang: keberadaan Tuhan, hubungan antara iman dan akal, kehendak dan kecerdasan, serta universalitas dan partikularitas.
Selebihnya, tulisan ini akan membahas Ibnu Rushd, salah satu dari tiga tokoh yang diajukan oleh Habib sebagai representasi dari tradisi pemikiran Skolastik, selain Thomas Aquinas dan Dante Alighieri.
Ibnu Rushd (1126-1198)
Ibnu Rushd, atau lengkapnya Abu Walid Muhammad bin Ahmad bin Rushd, lahir di Kordoba, Andalusia, pada 1126 M dari keluarga ahli hukum. Ia menjadi hakim di Sevilla pada tahun 1169, dua tahun sebelum ia resmi dilantik menjadi hakim agung di Kordoba. Selain itu, Rushd juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki kualitas keilmuan yang beragam (interdisipliner), karena selain sebagai hakim, ia juga dikenal sebagai ahli dalam bidang fikih, fisika, kedokteran, dan astronomi. Namun melebihi itu semua, ia diakui sebagai filsuf besar Islam atas usaha kerasnya dalam mencari titik temu antara Islam dan filsafat Yunani, khususnya Aristoteles. Juga sebagai akibat dari usaha keras tersebut, dengan keras pula ia ditentang oleh para teolog, baik Islam maupun Kristen, dan dituduh sebagai penyebar ateisme sehingga sebagian karya tulisnya dibakar.
Sederhananya, fokus dari kerja filsafat Ibnu Rushd, seperti dalam The Incoherence of the Incoherence atau yang di kalangan pesantren lebih dikenal dengan judul Tahafut al-Tahafut, adalah untuk mendamaikan filsafat dan agama, akal dan wahyu. Karya ini merupakan sanggahan Rushd terhadap The Incoherence of the Philosophers (Tahafut al-Falasifah) karya Al-Ghazali yang menolak logika filsafat Yunani karena secara teologis telah salah dalam memahami eksistensi Tuhan, manusia, dan alam semesta. Dalam sanggahannya, Rushd antara lain meyakinkan bahwa teks kitab suci sebagai pedoman utama kebenaran agama tertuang dalam kualitas puitis dan retoris yang sangat tinggi, sementara filsafat merupakan jalan untuk mampu menghasilkan kebenaran yang rasional dan bisa diterima oleh akal pikiran manusia. Sehingga pemahaman rasional dan filosofis tersebut justru akan membantu kita dalam mengungkap dan menjelaskan kebenaran agama. Kesadaran akan kualitas teks kitab suci ini mengarahkan Rushd pada pentingnya kajian sastra demi menginterpretasinya dan menjelaskan kebenaran. Dalam konteks itulah gagasan kritis Aristoteles menjadi pijakan utama bagi kerja kritis Rushd.
Dalam karya terkemukanya yang berjudul Commentary on the Poetics of Aristotle, Rushd merumuskan pandangan sastranya ke dalam tiga tesis: pertama, definisi sastra sebagai seni pujian atau celaan yang didasarkan pada representasi moral; kedua, tujuan sastra untuk menghasilkan efek kekaguman pada audiens melalui keunggulan teknik peniruan dan unsur-unsur performatif; dan ketiga, kedudukan sastra sebagai cabang dari logika. Kita tak bisa menghindari bahwa Aristoteles adalah pemikir yang kerap dikutip sebagai pemegang otoritas untuk ketiga pandangan tersebut, dan Ibnu Rushd mengembangkan wawasan yang sering kali secara kebetulan terkait dengan argumen utama Aristoteles. Sehingga membaca Rushd sangat mungkin membuat kita berpikir bahwa Rushd seolah hanya sedang melakukan pengulangan atas segala gagasan Aristoteles. Maka pertanyaan sederhananya adalah: apa sumbangsih Rushd dalam memperkaya gagasan sastra Aristotelian, khususnya dalam bidang sastra?
Moralitas Sastra
Bagi Ibnu Rushd, sastra tak lain adalah seni pujian dan celaan, dan tak bisa disangkal demikianlah juga sastra dalam pandangan Aristoteles. Keduanya memiliki pandangan yang persis sama terkait definisi sekaligus fungsi sastra, yaitu sebagai media seni yang bekerja demi memberikan penilaian baik/buruk atas kehidupan dunia, baik individu maupun masyarakat secara umum.
Kesamaan pandangan ini akan bisa kita temui lebih lanjut dalam beberapa bagian penting dalam pemikiran keduanya. Misalnya, tesis utama Ibnu Rushd bahwa “Setiap puisi dan semua puisi yang baik adalah celaan atau pujian”[i], dikembangkan dari komentar Aristoteles dalam bab IV dari Poetics bahwa bentuk pertama puisi adalah pujian dan sindiran terhadap seorang tokoh. Puisi harus merepresentasikan “tindak kebajikan terpilih yang berlaku universal pada kegiatan-kegiatan kebajikan dan bukan berlaku khusus pada satu contoh kebajikan saja”[ii], juga sama dengan Aristoteles yang menekankan puisi bukan hanya untuk mengungkapkan segala sesuatu atau keadaan yang unik, melainkan pandangan-pandangan yang universal.
Dari berbagai usahanya dalam merujuk Aristoteles, Rushd meyakini bahwa hanya representasi universal-lah yang dapat membangkitkan gairah yang tersembunyi dalam jiwa; bahwa tujuan sastra bukan sekadar untuk membangkitkan kesenangan atau kekaguman belaka, tapi juga mencari “kenikmatan tingkat tertentu yang menuntun pada kebajikan melalui imajinasi”[iii]. Dan sekali lagi, mengikuti Aristoteles, Rushd menempatkan tragedi sebagai genre karya yang paling memadai untuk gagasan ini.
Tragedi merupakan karya yang mampu menampilkan manusia (sang tokoh utama) sampai pada kualitas tertingginya, yaitu manusia yang kebijakan perilakunya mampu melampaui norma-norma sosial pada umumnya. Pada umumnya, heroisme seorang pahlawan sebagai tokoh utama dalam tragedi menggambarkan keteguhan untuk melampaui tak hanya segala hukum dan aturan yang selalu lemah di hadapan kejahatan, namun juga melampaui kebutuhannya sendiri untuk hidup normal sebagai layaknya manusia biasa. Pada titik ini, pengorbanan jiwa-raga sang pahlawan adalah capaian moral tertinggi.
Sebagaimana Aristoteles, Rushd juga mengklaim bahwa puisi harus bisa merepresentasikan segala nilai kebajikan dari perbuatan bijak. Ia juga menambahkan penegasannya bahwa tindakan bijak itu adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai moral universal, dan bukan sekadar pada kebiasaan, tradisi, adat, dll. Oleh karena itu, segala tindakan yang digambarkan oleh penyair harus “berdasarkan pilihan bebas dan pengetahuan”[iv] dan yang terlepas dari segala macam kungkungan lokalitas yang partikular. Maka terkait hal ini, senada dengan Aristoteles yang memandang tragedi sebagai kisah yang sangat ‘serius’ dan memiliki signifikansi moral yang luas, Rushd juga menekankan bahwa tragedi—yang dapat merangsang kepenuhan emosi (penderitaan, ketakutan, keteguhan, dll.)—bukanlah cerita-cerita “kecil dan tidak penting” melainkan kisah-kisah tentang “pengalaman sulit dan keras… yang cenderung menimpa umat manusia”[v].
Realisme: Teknik Peniruan dan Performativitas
Mengenai peniruan atau imitasi dalam sastra, Ibnu Rushd menempatkan perhatian besarnya pada realisme. Berangkat dari Aristoteles yang menekankan bahwa penyair harus merepresentasikan apa yang mungkin, Rushd mendorong agar penyair hanya menyampaikan apa yang benar, berbicara hanya tentang apa yang ada atau mungkin ada, dan mendasarkan karya pada hal-hal yang secara natural ada, bukan yang dibuat-buat atau imajiner. Rushd memang senada dengan Aristoteles yang menunjukkan bahwa penyair memiliki karakter yang mirip dengan filsuf karena sama-sama berbicara dalam kerangka universal. Tetapi ia menambahkan penegasannya bahwa seperti “seniman [(perupa)] yang terampil menggambarkan sebuah benda sebagaimana yang ada di realitas . . . penyair harus menggambarkan dan membentuk objek sebagaimana adanya . . . dengan demikian maka penyair bisa meniru dan mengekspresikan karakter serta kebiasaan dari jiwa objek tersebut”[vi].
Dalam hal ini kita bisa membedakan, atau lebih tepatnya memperjelas sejauh mana elaborasi Rushd atas realisme Aristotelian. Jika Aristoteles mengarahkan gagasan imitasinya pada representasi tindakan, peristiwa, dan koneksi antarperistiwa dalam sebuah plot, lebih rinci lagi, Rushd menekankan bahwa kerja imitasi harus mampu memotret dan “menggambarkan sesuatu persis seperti kualitas dan sifat yang sebenarnya”[vii]. Lebih jauh lagi, ia mengatakan bahwa sastra yang paling baik adalah yang didasarkan pada pengalaman langsung, oleh karena itu penyair harus “sebaik mungkin melaporkan hal-hal yang telah ia mengerti dan ia lihat secara langsung, dengan segala kebetulan dan situasinya”[viii].
Di sini Rushd tampaknya mengajak kita untuk memperluas objektivitas sastra dengan penekanan lebih pada pengalaman langsung sebagai dasar pemahaman dan representasi. Tanpa mengurangi muatan moral universal sebagai tujuannya, Rushd telah mampu menaruh gagasan pada pentingnya sifat natural dalam kerja imitasi sastra, terutama pada unsur-unsur yang akan menggugah perasaan audiens. Dengan kata lain, realisme sastra bukan hanya berkaitan dengan nilai atau dampak moral dari sebuah karya, tapi justru kedua hal itu hanya akan terwujud jika dorongan perasaan dan daya imajinasi dari audiens bisa terfasilitasi dengan baik.
Singkatnya, jika realisme yang menampung konten kausal perilaku moral itu oleh Aristoteles dititikberatkan pada alur atau plot, Rushd mendorongnya lebih jauh lagi, yaitu pada penggambaran setiap objek dalam sebuah kalimat. Karena bagi Rushd, ketika seorang penyair mampu menggambarkan sebuah objek atau kondisi sebagaimana adanya, niscaya itu akan membangkitkan perasaan dan imajinasi yang mampu mendekatkan audiens pada kualitas dan sifat aslinya. Dengan demikian Rushd—yang seolah mengantisipasi pandangan Modern—telah menempatkan sastra sebagai jembatan terdekat antara dunia benda-benda (eksternal) dan persepsi manusia (internal).
Sastra sebagai Cabang dari Logika
Untuk menemukan kaitan antara sastra dan logika, Rushd memulainya dengan memilah bentuk penyampaian (speech) menjadi dua kategori, yaitu penyampaian logis (logical speech) dan penyampaian bukan logis (non-logical speech). Dan dalam kategorisasi tersebut Rushd meyakini bahwa sastra merupakan cabang dari penyampaian logis. Meskipun terkesan sederhana, tapi sepertinya ini merupakan bagian agak rumit dan mendalam dari gagasan sastra Rushdian.
Setelah memilah penyampaian menjadi dua kategori tersebut, selanjutnya Rushd menempatkan retorika dan sastra sebagai disiplin yang masing-masing memiliki nilai dan posisi yang sama dalam wacana logis (silogisme[ix]). Ia mengatakan bahwa “silogisme adalah satu jenis pernyataan dan orasi retoris adalah jenis tersendiri, serta komposisi puitis juga jenis lainnya”[x]. Sebagai bagian dari logika, keduanya (retorika dan sastra) mengandung strategi penyampaian yang berbeda. Rushd memandang retorika sebagai penyampaian yang persuasif, dan sastra—atau poetic speech—sebagai penyampaian yang representasional. Namun pembedaan ini bukan berarti membuat puisi (sastra) dan retorika menjadi bertentangan. Dalam kerangka logis Rushd, keduanya justru saling melengkapi satu sama lain.
Rushd menjelaskan penyampaian puitis (poetic speech) sebagai pengembangan dari bentuk penyampaian standar atau penyampaian pada umumnya. Lagi-lagi pandangan ini juga berangkat dari anjuran Aristoteles, bahwa untuk menghindari verbalitas dan kedangkalan makna seperti yang sering terjadi pada penyampaian standar, puisi harus menerapkan penggunaan variasi bahasa seperti metafora atau kata kiasan. Meski demikian, Rushd mengingatkan agar pemilihan variasi bahasa tersebut tetap dilakukan dengan kontrol yang ketat dan rasional, karena sevariatif apa pun, tujuan puisi tetaplah untuk menyampaikan kebenaran universal secara jelas dan masuk akal. Hal ini menunjukkan pendirian Rushd atas sastra sebagai bagian dari logika (logical speech).
Sementara terkait dengan retorika, Rushd menyarankan agar kesimpulan dalam sebuah puisi atau penyampaian puitis meniru model kesimpulan dalam retorika atau penyampaian retoris, yaitu rangkuman—dalam bentuk pujian atau celaan—atas subjek atau tokoh yang dimaksud. Pada titik ini Rushd sepertinya tidak lagi mengikuti alur atau komponen kualitatif dari tragedi sebagaimana ajaran Aristoteles, yaitu imitasi, efek kemalangan, efek ketakutan, dan kejadian-kejadian yang mengguncang. Memperlihatkan kearabannya, Rushd lebih merujuk pada model kasidah[xi] yang menurutnya terdiri dari tiga bagian: pendahuluan retoris, materi pujian, dan kesimpulan retoris. Hal ini menarik, bahwa meskipun Rushd menempatkan sastra sebagai bagian dari logika yang disarati dengan segala dorongan universalitas dan tuntutan rasionalitasnya, beberapa bagian dalam penyampaiannya tetap melibatkan unsur-unsur tertentu dari tradisi retorika.
Kita bisa menemukan bahwa selain masalah struktur atau urutan materi dalam penyampaian (speech) dan gaya sopan (decorous style) yang diajarkannya sebagai gaya yang paling cocok untuk menyampaikan kebenaran, Rushd juga memberikan penekanan lebih dalam hal strategi penciptaan. Jika sebelumnya sudah disinggung masalah variasi bahasa yang memberikan penekanan lebih pada penggunaan metafora dan kiasan, selanjutnya Rushd bahkan mengidentifikasi enam kesalahan yang harus dihindari dalam puisi atau penyampaian puitis, yaitu: “merepresentasikan hal yang mustahil, representasi yang terdistorsi, merepresentasikan hal rasional dengan menggunakan hal yang irasional, membandingkan sesuatu dengan hal yang sebaliknya, menggunakan kata-kata dengan makna yang ambigu, dan memilih persuasi retoris ketimbang representasi puitis”[xii]. Seluruh pandangan Ibnu Rushd ini bisa kita sikapi sebagai dorongan untuk menyampaikan kebenaran melalui jalan realisme, dan sekali lagi, bukan hanya realis dalam alur atau plot, namun bahkan sampai pada bagaimana deskripsi realis itu dituangkan dalam kalimat.
Tak bisa dimungkiri, dorongan tersebut merupakan efek dari diposisikannya Al-Qur’an sebagai arketipe atau sebaik-baiknya rujukan dalam tradisi sastra Arab. Al-Qur’an dipandang paling mampu memberikan pujian dan celaan dengan sangat baik, juga piawai dalam membicarakan masalah kejahatan dan kebajikan dengan tegas namun tetap puitis, dan bahkan pun penggunaan bahasanya berangkat dari model penyampaian standar, variasinya tetap mampu menghasilkan pemahaman yang sangat komprehensif. Pemosisian kitab suci sebagai puncak tertinggi dari karya sastra ini kemudian menjadi fondasi bagi pemikiran sastra skolastik selanjutnya, yaitu menempatkan sastra sebagai salah satu bagian dalam hierarki wacana, di samping logika, retorika dan filsafat, dengan posisi puncak yang diduduki oleh teologi.
Selebihnya, dengan desakan Ibnu Rushd agar puisi selalu mengekspresikan kebenaran, serta ajakannya untuk selalu melihat puisi—atau secara lebih umum adalah sastra—sebagai bentuk karya seni yang memiliki dampak persuasif pada audiens, maka sesungguhnya kita sedang diajak untuk melekatkan padanya fungsi moral dan epistemologis. Bagi Rushd, dan sebagaimana juga Aristoteles, kedua hal tersebut sangatlah saling berkaitan.
[i] Habib, M.A.R. A History of Literary Criticism: From Plato to Present. Victoria: Blackwell Publishing, 2005. Hal. 197
[ii] Ibid., 198.
[iii] Hardison, O.B, Jr. (ed.) Medieval Literary Criticism: Translations and Interpretations. New York: Frederick Ungar, 1974, hal. 103 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 198).
[iv] Ibid, hal. 104 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 198).
[v] Ibid, hal. 103 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 198).
[vi] Ibid, hal. 105 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 198).
[vii] Ibid, hal. 111 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 198).
[viii] Ibid, hal. 110 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 198).
[ix] Silogisme adalah cara berpikir Aristotelian dalam menemukan jawaban atau kesimpulan dengan memperhadapkan dua premis yang berbeda (mayor dan minor). Cara berpikir ini biasa kita kenal sebagai penalaran deduktif, berangkat dari suatu pandangan umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
[x] Hardison, O.B, Jr. (ed.) Medieval Literary Criticism: Translations and Interpretations. New York: Frederick Ungar, 1974, hal. 114 (maktub dalam Habib, 2005: hal. 200).
[xi] Kasidah merupakan bentuk puisi dalam kesusastraan Arab, bersifat pujaan (satire, keagamaan) biasanya disampaikan dalam bentuk nyanyian.
[xii] Hardison, O.B, Jr. (ed.) Medieval Literary Criticism: Translations and Interpretations. New York: Frederick Ungar, 1974, hal. 120-121 (disarikan dalam Habib, 2005: hal. 200).
Komentar Terbaru