Penulis: Wahmuji

Tulang Punggung Budaya Literasi

Secara umum, ada empat dimensi interpretatif dari praktik gramatika. Lectio, atau membaca, adalah prinsip-prinsip ilmu persajakan dan membaca lantang (di depan publik); enarratio, atau eksposisi, merupakan penjelasan isi dan prinsip interpretasi; emendatio, atau koreksi, adalah aturan mengenai ketepatan linguistik dan autentisitas tekstual; dan iucidium, atau penilaian, merupakan kritik atau evaluasi atas teks. Dari empat dimensi ini saja, kita sudah langsung bisa melihat luasnya cakupan praktik gramatika pada Abad Pertengahan.

Baca lebih lajut

Nilai Kritik Sastra Kuno

Melalui Kritik Sastra Kuno (dari Plato [429-347 SM] hingga ‘Servius’ [abad ke-4 Masehi] atau bahkan Santo Agustinus [354-430 M], kita diajak untuk memahami lagi sebuah karya sastra sebagai ekspresi literer dari seorang pengarang yang bergulat dengan tradisi sastra yang ada maupun lingkungan sosialnya. Atau, dengan kata lain, sebuah karya sastra tetaplah sebuah karya individual meski ia merupakan produk budaya seperti juga produk-produk seni lainnya.

Baca lebih lajut

Hanyut dalam Cerita

Pertama-tama, sublim diartikan dalam hubungannya dengan pembaca, yakni hadirnya efek ekstase yang dialami dan tak-dapat-dilawan oleh pembaca. Efek ekstase ini adalah efek wonder (takjub, tercengang, kaget), bukan hanya yakin atau senang. Karena takjub dan tercengang, jiwa atau diri pembaca diangkat untuk mencapai sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak-terbatas, tak dapat dikontrol, tak bisa dilawan karena melampaui kekuatan rasio, ‘dekat dengan pikiran Tuhan’. Saat mengalami sublim, kita merasakan ‘proud possession’, sebuah kebanggaan yang penuh kegembiraan, seakan-akan kita sendiri yang menghasilkan karya yang membuat kita sublim. Efek sublim ini akan bertahan lama dan terulang, dan memori atas efek itu ‘susah diatasi dan tak terhapus’. Sublim menghubungkan kita dengan tujuan tertinggi manusia dan mengenali potensi tak terbatas dari manusia.

Baca lebih lajut

Desa adalah Ruang Aktual dan Dinamis

Ulid menghadirkan individu-individu yang bisa menjaga harmoni dengan desa [tidak terjebak dalam narasi ‘bentrokan kebudayaan’ tradisional vs modern dan desa vs kota], menyajikan kemampuan masyarakat desa menghadapi perubahan [dengan meratapi kehilangan sekaligus merayakan perubahan dan keberhasilan], dan secara umum menunjukkan dinamisnya desa dan kehidupan masyarakatnya.

Baca lebih lajut

Chinua Achebe dan Kajian Pascakolonial

Achebe berbicara soal representasi Afrika dalam karya sastra dan mengangkat kebudayaan suku Igbo, salah satu suku terbesar di Nigeria, sebelum penjajah datang.[2] Ia berbicara soal universalisme dalam sastra, penggunaan bahasa dalam karya sastra Afrika, dan peran penulis di negara pascakolonial. Ia mengetengahkan posisi subjek di negara bekas terjajah dan merayakan hibriditasnya.

Baca lebih lajut