“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.” Begitulah bunyi pembukaan Surat Kepercayaan Gelanggang yang sangat terkenal dalam sejarah sastra Indonesia itu. Masalah utama yang diangkat oleh kredo tersebut adalah bagaimana kita berhadapan dengan warisan tradisi seni, dan lebih luas lagi, tradisi kebudayaan dunia, dalam arti segala sejarah baik material maupun mental yang sudah ada saat kita berkarya. Bagi mereka, “yang pokok ditemui adalah manusia”. Artinya, mereka percaya bahwa pada dasarnya ada sifat universal dari manusia dan kebudayaannya. Namun, para pencetus Surat Kepercayaan Gelanggang juga percaya bahwa mereka punya hak untuk menggunakan warisan itu—yang pokoknya adalah manusia—dengan cara mereka sendiri.  Dan persoalan caralah yang menurut mereka mendefinisikan kekhasan mereka sebagai pewaris.

Nada dan semangat semacam itulah yang akan kita temui saat membaca karya para kritikus sastra Modern Awal atau yang lebih umum disebut Renaissance/Renaisans (abad ke-14 sampai sekitar pertengahan abad ke-17). Dari makna kata ‘Renaissance’ itu saja, ‘kebangkitan kembali’, kita sudah bisa membayangkan bahwa ada warisan masa lalu yang dibangkitkan di masa kini. Warisan yang dibangkitkan adalah karya-karya klasik (Yunani dan Romawi). Kenapa dan untuk apa warisan klasik dibangkitkan kembali? Para pemikir Modern Awal menganggap bahwa masa sebelum mereka, Abad Pertengahan—runtuhnya Romawi dan berkuasanya gereja—sebagai Abad Gelap. Konsep mengenai Abad Gelap (Dark Age) dikembangkan oleh penyair terkenal Italia abad ke-14, Petrarch (1304-1374), sang “Bapak Humanisme”.  Petrarch menganggap bahwa setelah kejatuhan Romawi, seni mengalami dekadensi selama berabad-abad. Dan cara mengembalikan kejayaan seni adalah kembali pada karya-karya klasik (Yunani dan Romawi).

Meski Surat Kepercayaan Gelanggang dan masa Modern Awal memiliki kesamaan semangat, ada perbedaan besar terkait persoalan sejauh mana semangat itu menjadi laku kritik. Karena berupa kredo, dalam Surat Kepercayaan Gelanggang kita hanya menemukan pernyataan sikap, sedangkan dalam tulisan-tulisan di masa yang disebut Modern Awal kita mendapatkan rumusan yang cenderung lebih jelas mengenai bagaimana berhadapan dengan warisan (klasik) dan membuat nilai (estetika) sendiri. Tidak adil memang kalau kita membandingkan satu kredo dengan tulisan-tulisan yang lebih komprehensif. Saya cuma ingin mengatakan bahwa semangat yang hadir dalam Surat Kepercayaan Gelanggang telah ada cukup lama dan telah dikembangkan menjadi laku kritik yang massif di Barat. Kita perlu menengoknya untuk dipakai sebagai salah satu referensi untuk melihat-ulang sejarah kritik sastra modern kita.

Mengangkat kembali dan membahas ulang berarti mengemukakan lagi persoalan pokok dari yang diangkat—isu-isu yang diabaikan di masa sebelumnya. Dari situlah modifikasi bisa dilakukan. Persoalan-persoalan itu antara lain imitasi, definisi dan perluasan genre, kesatuan organik, dan hubungan puitika (poetics) dan retorika. Kita akan melihat pembahasan empat persoalan itu dengan memeriksa empat kritikus ternama di periode Modern Awal, yakni Giambattista Giraldi (1504-1573), Lodovico Castelvetro (1505-1571), Giacopo Mazzoni (1548-1598), dan Torquato Tasso (1544-1595).

 

Imitasi

Dalam rumusan klasik dari Plato, seni merupakan imitasi atas imitasi atas Ide (Form). Seni meniru realitas, sedangkan realitas partikular itu merupakan imitasi dari Ide yang bersifat universal. Aristoteles punya pandangan kosmologis yang sama, tetapi ia menekankan sisi kreatif dari peniruan. Para kritikus di masa Modern Awal mengamini esensi sastra sebagai imitasi, tetapi merumitkan kategori imitasi dan menunjukkan pentingnya tradisi klasik sebagai sumber imitasi, sesuatu yang sebelumnya dipromosikan oleh Longinus di abad pertama.

Mazzoni, sang pembela Dante, mengemukakan kembali dan mengamini dua jenis imitasi dari Plato, yakni “icastic” dan “phantastic”. Imitasi yang pertama mengacu pada imitasi atas objek nyata, sedangkan yang selanjutnya mengacu pada imitasi atas temuan seniman. Mazzoni juga mengikuti Plato saat merumuskan jenis-jenis objek bagi seni maupun sains. Pertama-tama, ia mengemukakan adanya tiga jenis objek yang bisa didekati: ide (idea), karya (work), dan citra (idol, image). Ketiga objek itu akan didekati dengan cara berbeda dan menghasilkan tiga jenis seni yang berbeda. Ide bisa diamati (observable) dan menghasilkan seni kuasa (ruling art); karya bisa dirangkai (fabricable) dan menghasilkan seni rangkai (fabricating art); dan citra bisa ditiru (immitable) dan menghasilkan seni peniruan (imitating art).

Apa bedanya tiga jenis seni itu? Mari kita ambil contoh objek bajak atau luku. Seni kuasa akan fokus pada seni pengolahan tanah, pada ide tentang bagaimana bajak mesti beroperasi; seni rangkai akan fokus pada bagaimana bajak dirangkai atau dicipta; dan seni citra akan fokus hanya pada sejauh mana bajak bisa ditiru sebagai citra atau idol (mungkin gambar mengenai bajak atau patung bajak). Namun, tidak seperti Plato, Mazzoni menekankan perbedaan seni peniruan dari seni lainnya. Bagi Plato, seni rangkai merupakan imitasi atas ide mengenai objek. Bagi Mazzoni, meski seni rangkai (membuat bajak) merupakan imitasi dari ide pengolahan tanah (seni kuasa), ia punya tujuan lain di luar imitasi, seperti mempermudah kerja. Jadi, seni peniruan berbeda dari dua jenis seni lain karena seni peniruan tidak memiliki tujuan lain selain representasi.

Setelah mengakui sastra sebagai seni imitatif, Mazzoni mencoba mendefinisikan seni atas dasar mediumnya, pokok persoalannya, penyebab efisiennya, dan penyebab finalnya. Upaya lanjutan Mazzoni ini sudah menyinggung isu lain di luar imitasi, yang sebagian akan di bahas di bagian selanjutnya. Sekarang kita akan melihat pendefinisian imitasi seni dari pemikir lain, Castelvetro, komentator dan kritikus Aristoteles.

Bagi Castelvetro, sastrawan adalah seorang penemu (bukan hanya peniru) dan penemuan sesungguhnya lahir dari kerja keras. Baginya, persoalan yang paling baik untuk diangkat oleh seorang sastrawan tidak diambil dari sejarah atau ilmu pengetahuan, tetapi ditemukan dan diimajinasikan oleh kejeniusan penyair atau sastrawan. Bagaimana caranya? Melalui imitasi atas tindakan manusia. Di titik ini, Castelvetro berbeda pendapat dengan Aristoteles. Baginya, subjek puisi adalah “kejadian sehari-hari yang dibicarakan oleh orang-orang.”[i] Karena tindakan manusia merupakan subjek imitasi sastra, maka jenis-jenis sastra tidak didasarkan pada moral, tetapi pada siapa yang ditiru (bangsawan, kelas menengah kota, petani).

Selanjutnya, masih mengikuti alur nalar Aristoteles, Castelvetro menunjukkan jenis-jenis imitasi. Menurut Aristoteles, ada tiga jenis imitasi: naratif, dramatik, dan kombinasi keduanya. Castelvetro menawarkan satu jenis imitasi baru dengan cara mendefinisikan ulang jenis imitasi dari Aristoteles. Mode naratif, bagi Castelvetro, menggunakan kata-kata hanya untuk merepresentasikan kata-kata dan benda; ia menceritakan apa yang orang katakan dan seluruh lingkup interaksi mereka dengan dunia jasmani. Mode dramatik menggunakan kata-kata dan benda-benda (objek material, orang, latar pemandangan) untuk merepresentasikan kata-kata dan benda-benda. Berbeda dengan mode naratif, mode dramatik lebih dibatasi ruang dan waktu; ia hanya bisa merepresentasikan yang bisa dilihat dan didengar, dan aksi yang ditampilkan mesti real-time atau durasinya sama dengan aslinya. Selanjutnya, Castelvetro mengajukan satu mode imitasi baru, yakni similitudinary, yang menggunakan kutipan langsung atau menyalin kata-kata yang sama seperti aslinya. Mode ketiga ini umumnya tidak berdiri sendiri tetapi ditemukan dalam mode naratif.

 

Definisi dan Perluasan Genre

Dengan perspektif kritis dan cenderung skeptis pada Renaisans, seperti dalam refleksi Thomas G. Rosenmeyer, “Ancient Literary Genre: A Mirage?”, penekanan pada genre untuk melihat fenomena sastra masa klasik mungkin justru akan menyesatkan karena hanya Plato dan Aristoteles yang memberi tekanan pada genre, yang tampaknya bukan merupakan persoalan utama dalam praktik bersastra di masa itu. Akan tetapi, kita mesti ingat bahwa persoalan genre penting bagi orang-orang Renaisans, terutama bagi pemosisian mereka dalam tradisi yang ada. Dan seperti yang disampaikan oleh D.A. Russel, pengarang Criticism in Antiquity, yang juga dikutip Rosenmeyer, “teori genre” merupakan hasil pergulatan dari para pemikir Renaisans. Karenanya, kita perlu memeriksa bagaimana mereka mengembangkan konsep genre berdasarkan warisan klasik yang mereka angkat.

Secara umum, kita bisa melihat beberapa kecenderungan pendefinisian dan penempatan kelas genre di masa ini. Pertama, ada upaya untuk melihat ulang ‘genre’ di masa klasik dengan rasionalisasi yang berbeda. Kedua, prosa diangkat derajatnya; ini berbeda dengan kecenderungan klasik untuk lebih menghargai yang-dramatik alih-alih yang-naratif. Kedua kecenderungan ini bisa kita lihat dalam pemikiran tiga tokoh: Giraldi, Mazzoni, dan Tasso.

Giraldi adalah penyair, dramawan, dan kritikus sastra yang kontroversial di zamannya, dan berpengaruh besar pada Pierre Corneille dan Shakespeare, juga Mazzoni, Du Bellay, dan Colleridge. Ia mengakui otoritas tradisi klasik, tetapi bersikukuh bahwa penulis terkini mestinya tidak dibatasi aturan yang dibuat oleh para pemikir klasik. Ia meyakini nilai historis dari sebuah karya, dalam arti nilai klasik bisa jadi tidak bisa diterapkan untuk masa kontemporer. Inilah karakter modern yang menjadi salah satu ciri utama Giraldi. Terkait dengan itu, ia menganjurkan sebuah genre baru, yakni roman (sebuah puisi naratif panjang yang menggabungkan epik klasik dengan karya-karya naratif Abad Pertengahan). Ia mempertentangkan roman dengan rumusan Aristoteles mengenai epik, bahwa epik harus meniru satu aksi. Bagi Giraldi roman merupakan produk zamannya dan terdiri dari banyak aksi dan banyak tokoh. Legitimasi atas roman, lanjutnya, sama dengan legitimasi atas epik yang dikembangkan oleh Homer—dan Vergil. (Homer dan Vergil adalah penulis awal Barat yang karya-karyanya disebut sebagai epic poems, sebuah puisi naratif yang panjang, yang biasanya bercerita soal peristiwa-peristiwa besar dan tindakan-tindakan heroik; Homer dianggap Plato sebagai orang yang mendidik orang-orang Yunani, dan dianggap Aristoteles sebagai pengajar semua penyair lain tentang seni berbohong dengan lihai).

Pemikir selanjutnya, Mazzoni, lebih menarik lagi dalam berstrategi menghadapi persoalan genre. Ia menggunakan kategori Plato mengenai genre dan bentuk-bentuk imitasi, serta menggunakan teks-teks Plato lain yang tidak banyak diketahui publik, untuk mengangkat potensi sastra – sesuatu yang dinilai negatif oleh Plato. Sebagai contoh, ia memeriksa tiga kelompok masyarakat dalam Republik-nya Plato, yakni artisan (masyarakat kelas bahwah dan menengah-bawah), tentara, dan hakim (termasuk warga sipil yang memegang kekuasaan negara). Dengan tiga kelompok itu, tiap jenis sastra (heroik, tragedi, dan komedi) memiliki fungsi masing-masing di dalam negara. Sastra yang heroik penting untuk tentara, tragedi untuk penguasa, dan komedi untuk masyarakat biasa. Dengan begitu, sastra tidak perlu dihilangkan dari sebuah republik karena ia justru berguna dan punya sasaran warga yang jelas, tidak mesti menjadi ancaman atas persatuan masyarakat.

Mazzoni juga berupaya mendefinisikan sastra dengan fitur makna yang bertingkat, sesuatu yang akan kita temui dalam upaya penteorian yang lebih terkini, seperti dilakukan oleh Jonathan Culler. Pertama, ia melihat sastra sebagai seni; kemudian sastra sebagai sebuah “permainan” yang dibuat untuk menyenangkan; dan sebagai sebuah “permainan” yang dibuat untuk menyenangkan dengan cara yang berguna. Kita akan melihat lebih jauh persoalan ‘menyenangkan’ dan ‘berguna’ ini di bagian selanjutnya tentang puitika dan retorika.

Pemikir lain, Tasso, dengan karya besarnya Jerusalem Delivered dan versi panjangnya Jerusalem Conquered dan kritik sastranya Discourse on the Heroic Poem (versi panjang dari Discourse on Poetic Art), merumuskan teori tentang puisi epik dan mengangkat genre ini dalam hierarki genre Aristotelian. Ia menyatakan bahwa tiap genre (tragedi, komedi, epik) memiliki efeknya sendiri-sendiri terhadap publik. Tragedi “membersihkan jiwa dengan teror dan iba”; komedi “membangkitkan tawa atas hal-hal mendasar”; dan epik “menghadirkan ketakjuban”. Dan baginya, komponen dalam epik lebih menyeluruh, lebih lengkap, dibandingkan dua genre lainnya. Karena itulah, berbeda dengan Aristoteles yang mengutamakan tragedi, ia menganggap epik berada di posisi atas dalam hierarki genre.

 

Kesatuan Organik

Konsep ‘kesatuan’ (unity) dalam kritik sastra punya tradisi panjang, tetapi utamanya diasosiasikan dengan klasik, Romantik, dan yang terbaru New Criticism. Umumnya, para kritikus Renaisans membawa doktrin kesatuan tempat dan waktu sebagai tambahan atas kesatuan aksinya Aristoteles.

Seperti dijabarkan sebelumnya, Giraldi mengangkat roman dengan menekankan jamaknya aksi dan karakter di dalamnya. Namun, perihal kesatuan organik dalam sebuah karya, ia cenderung bersifat klasik. Ia menganggap bahwa tiap bagian mesti sesuai tempatnya dalam keseluruhan. Kesesuaian ini terkait dengan gagasan klasik mengenai proporsi, harmoni, dan kewajaran (tidak berlebih-lebihan). Dengan begitu, bentuk memiliki hubungan ornamental dengan isi: bentuk yang pas sesuai dengan sebuah isi tertentu, bentuk menyesuaikan isi.

Sementara itu, Castelvetro juga setuju dengan kesatuan Aristoteles, tetapi memberi rasionalisasi yang berbeda. Menurut Aristoteles, sebuah plot tragedi tidak boleh lebih dari dua puluh empat jam (one revolution of the sun) karena melibatkan indra pendengaran dan penglihatan di saat bersamaan (dalam arti: dipanggungkan); sedangkan plot epik (naratif), yang hanya melibatkan indra pendengaran, bisa lebih panjang asal satu bagian tidak lebih dari dua puluh empat jam (lebih dari itu akan melelahkan pendengar yang duduk). Castelvetro sepakat dengan pembatasan durasi dari Aristoteles, tetapi menurutnya penyebab pembatasan itu bukanlah kelelahan memori penonton dan pendengar, tetapi karena kebutuhan ‘realisme’-nya. Karena “aksi imajiner yang darinya plot dibangun merepresentasikan kata dengan kata dan benda dengan benda,” maka durasi aksi imajiner mesti sama dengan kenyataannya. Terkait dengan jumlah aksi dalam tragedi dan epik, Castelvetro juga cenderung sepakat dengan Aristoteles tetapi, lagi-lagi, mengajukan pembenaran yang berbeda. Ia menganggap batas durasi 24 jam tidak mungkin menghadirkan lebih dari satu aksi dan pembatasan satu aksi pada epik akan menantang pengarang menunjukkan keahliannya.

Selanjutnya, Castelvetro menganggap bahwa kriteria kesatuan Aristoteles terkait hubungan aksi sebagai yang “mungkin dan semestinya” terlalu sempit. Aksi bisa jadi terkait dengan satu orang atau satu tempat atau satu negara. Castelvetro tampaknya memperluas kesatuan aksi Aristoteles dengan mengajukan kesatuan ruang. Aksi “harus dibangun di sebuah tempat yang tidak lebih luas dari panggung di mana para aktor tampil dan di satu periode waktu yang tidak lebih lama dari durasi aksi pergelarannya.”[ii] Konsep kesatuan ruang yang diajukan oleh Castelvetro ini bisa disebut sebagai bagian dari wacana awal dalam tradisi realisme dan naturalisme.

 

Puitika dan Retorika

Masa Modern Awal bisa dilihat sebagai kebangkitan kembali retorika setelah di Abad Pertengahan ilmu pengetahuan dikuasai gramatika dan kemudian logika. Di tangan para humanis, sebuah karya tidak hanya dilihat dalam kerangka intrinsik semata, juga tidak melulu dipandang sebagai representasi kenyataan (baik yang partikular maupun universal [ilahiah]), tetapi dilihat sejauh mana ia mampu menggerakkan publik, atau dalam kata-kata Mazzoni, sejauh mana ia bisa dipercaya (credible). Kedekatan dengan isu retorika ini mengangkat kembali persoalan klasik Horatian: seni itu indah dan berguna, menyenangkan sekaligus mengajarkan sesuatu.

Seperti Horace, para kritikus Modern Awal berupaya membuat kompromi atas dualitas fungsi sastra. Akan tetapi, mereka cenderung lebih menekankan elemen kenikmatan dibandingkan kegunaan. Castelvetro, misalnya, mengakui bahwa efek kegunaan itu ada di sastra, tetapi tidak esensial. Tujuan sastra adalah untuk menghasilkan kesenangan. Dan upaya untuk menghasilkan kesenangan bisa dilatih, bisa dipelajari—di sini kita bertemu dengan isu klasik Romawi: apakah karya sastra lahir dari seorang jenius atau hasil dari kerja keras.

Tujuan sastra, menurut Castelvetro, bukanlah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai apa yang baik dan buruk dalam karakter manusia (seperti dapat dilihat dalam genre tragedi-nya Aristoteles), tetapi menawarkan “kemungkinan kenikmatan paling tinggi” (the greatest possible pleasure). Tawaran ini dihadirkan dalam representasi sastra atas tindakan-tindakan yang belum pernah dilihat sebelumnya, yakni tindakan yang ditemukan alih-alih diambil dari sejarah. Bagi Castelvetro, penemuan semacam itu penting dalam karya sastra. Dari sini kita bisa melihat hubungan langsung dengan tradisi retorika, khususnya inventio (proses mengembangkan dan memperbaiki argumen, gelegar-nalar untuk mencari apa yang akan dikatakan). Selain itu, publik sastra yang dibayangkan oleh Castelvetro juga bukan publik elite, tetapi orang-orang biasa.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Mazzoni. Sastrawan mesti mengalamatkan karyanya pada khalayak ramai yang sebagian besarnya tidak terpelajar dan ‘kasar’. Karena itulah Mazzoni menekankan pentingnya kredibilitas. Kalau pemikir Yunani cenderung memilih kebenaran representasi sebagai nilai tertinggi, Mazzoni menggunakan retorika untuk membalik pandangan itu dengan menyatakan bahwa kredibilitas lebih penting. Jika harus memilih antara kredibel tapi salah dan benar tapi tidak kredibel, sastrawan, katanya, harus memilih yang pertama.

Hubungan ideologis Mazzoni dengan retorika lebih jauh lagi dari itu. Baginya, sastra berada di bawah sofistik dalam kategori klasik Yunani. Para sofis, menurutnya, memperlakukan segalanya secara retoris! [Istilah rethorically tampaknya dimaknai Mazzoni sebagai Credibly]. Meski di masa itu istilah ‘sofis’ telah lama mendapat konotasi negatif, Mazzoni menganggap kaum sofis tetap membawa kebajikan. Mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan penyair: penuh percaya diri menyampaikan klaim-klaim dengan menggunakan idols dan images. Pendek kata, sastra adalah seni sofistik yang genusnya adalah imitasi, subjeknya kredibel, dan tujuan akhirnya adalah untuk menyenangkan. Namun, bukan berarti sastra tidak punya fungsi apa pun. Latar bagi terciptanya sastra adalah salah satu kecakapan sipil, yakni ‘filsafat moral’, yang mengarah pada perilaku etis (perilaku yang tepat bagi kebaikan bersama).

Sementara itu, Tasso, sang pembela epik, secara eksplisit langsung mempermasalahkan hubungan antara menyenangkan dan berguna Horatian. Baginya, keduanya merupakan tujuan yang berbeda yang tidak bisa dicapai oleh satu alat saja (sastra). Maka, tujuan untuk menyenangkan mesti berada di bawah mengajari dengan memahami posisi kesenangan sebagai sarana dan ajaran tetap sebagai tujuan akhirnya. Kesenangan dalam sastra memang mesti ditempatkan dalam tujuan moral, tetapi bagi Tasso, “to aim at pleasure is nobler than to aim at profit.” Atau, dalam kata-kata yang lain, tujuan sastra adalah “to profit with delight”.

Semangat untuk menyenangkan alih-alih memberi pelajaran ini, seperti telah kita lihat, sebenarnya tidak menghilangkan sama sekali unsur didaktis dari karya. Akan tetapi, fokus terbaru ini tampaknya berfungsi dalam konteks melawan kecenderungan kaum skolastik yang hampir selalu mentautkan seni dengan kebenaran dan ajaran ilahi, juga meniti jalan bagi terbentuknya otonomi sastra yang akan dibahas di tulisan selanjutnya.

 

Penutup

Saya membuka tulisan ini dengan mengutip Surat Kepercayaan Gelanggang dan mengklaim bahwa isu yang diangkat dalam kredo itu sudah lama dibahas oleh pemikir Modern Awal secara lebih dalam. Klaim ini bukan untuk menyatakan bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang tidak menghasilkan apa pun, terutama dalam penciptaan karya—kita bisa menelisik bagaimana para sastrawan di akhir dekade 1940an menggunakan secara lihai warisan Melayu atau Barat. Isu mengenai, misalnya, tradisi sastra lokal maupun warisan ‘sastra dunia’ sudah sering jadi perbincangan di masa-masa baik sebelum Surat Kepercayaan Gelanggang maupun sesudahnya. Namun, sejauh pengetahuan saya, kita belum melangkah lebih jauh untuk membuat isu umum itu menjadi lebih spesifik, untuk membangun sebuah pendekatan yang khas ketika berhadapan dengan warisan seni dan budaya dari masa yang jauh.

Para pemikir Modern Awal memberi kita contoh yang menginspirasi. Mereka ‘bermain-main’ dengan warisan klasik dengan cara yang, bagi saya, menyenangkan. Mereka memuja sekaligus mengkritik, meniru sekaligus menambahi,  membuat isu-isu dalam tradisi klasik bergulir dengan campuran kepentingan untuk membela masa kini.

________

[i] Habib, 2005, hal. 243

[ii] Dalam M.A.R. Habib, 2005: 245