Tag: Retorika

Melindungi Sastra dan Sang Ratu

Kritik De Pisan terhadap para pemikir di masa-masa sebelumnya, dari masa pagan hingga melewati era Kristianitas, dituliskan dalam karyanya yang paling besar berjudul The Book of the City of Ladies (1405). Karya ini mendapat sejumlah pengaruh, seperti dari Boccacio melalui karya berjudul Concerning Famous Women (1361), pengajaran linguistik dan alegoris Quintilian, St. Agustinus (bukunya City of God ditiru De Pisan), Hugh St. Victor, maupun Dante. Sejalan dengan Boccacio yang menghadirkan kembali mitos-mitos lama, karya ini menggambarkan usaha De Pisan dalam menuliskan ulang sejarah wanita melalui penghadiran kembali nama-nama tokoh perempuan dalam sejarah, baik pemikir maupun tokoh mitologis. Ia menarungkan berbagai nama, yakni nama yang menggambarkan wanita secara negatif, dengan nama yang dijadikan alegori kebesaran posisi wanita.

Baca lebih lajut

Retorika Abad Pertengahan: Poetria Nova

Geoffrey de Vinsauf membuka pembahasan risalahnya dengan sebuah “catatan umum” yang sangat terkenal. Ia mengibaratkan penciptaan substansi atau pokok bahasan dalam puisi dengan pembangunan rumah. Orang yang akan membangun rumah tidak akan langsung membiarkan tangannya bertindak. “Tangan-pikiran membentuk keseluruhan rumah sebelum tangan-tubuh membangunnya. Mode mengada penciptaan awalnya arketipal, baru kemudian aktual.”

Baca lebih lajut

Alegori dan Tanda Ilahiah St. Agustinus

Perlu disadari, rekonsiliasi ini membuktikan bahwa Abad Pertengahan tidak sepenuhnya tenggelam dalam nada-nada religius (meski tidak dimungkiri itulah yang jadi ciri dominannya). Konsep alegori St. Agustinus memberikan ruang pada akal (reason) untuk dapat “mencampuri” urusan-urusan spiritual yang biasanya diasumsikan berada di luar kemampuan nalar akal manusia. St. Agustinus dengan jelas menyatakan bahwa akal bukan diberikan pada manusia tanpa tujuan. Justru berfaedah untuk membantu memahami suatu perwujudan dan mengaitkannya dengan the divine beauty. Di sanalah manfaat dan fungsi akal yang paling mujarab.

Baca lebih lajut

Hanyut dalam Cerita

Pertama-tama, sublim diartikan dalam hubungannya dengan pembaca, yakni hadirnya efek ekstase yang dialami dan tak-dapat-dilawan oleh pembaca. Efek ekstase ini adalah efek wonder (takjub, tercengang, kaget), bukan hanya yakin atau senang. Karena takjub dan tercengang, jiwa atau diri pembaca diangkat untuk mencapai sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak-terbatas, tak dapat dikontrol, tak bisa dilawan karena melampaui kekuatan rasio, ‘dekat dengan pikiran Tuhan’. Saat mengalami sublim, kita merasakan ‘proud possession’, sebuah kebanggaan yang penuh kegembiraan, seakan-akan kita sendiri yang menghasilkan karya yang membuat kita sublim. Efek sublim ini akan bertahan lama dan terulang, dan memori atas efek itu ‘susah diatasi dan tak terhapus’. Sublim menghubungkan kita dengan tujuan tertinggi manusia dan mengenali potensi tak terbatas dari manusia.

Baca lebih lajut

Ambivalensi Horace

Adapun tawaran Horace meliputi: (1) relasi penulis dengan karya, pengetahuannya tentang tradisi, dan kemampuannya sendiri; (2) karakteristik Ars Poetica sebagai struktur verbal meliputi kesatuan (unity), kesopanan/kepantasan (propriety), dan penyusunan (arrangement); (3) fungsi moral dan sosial sebuah karya, seperti mengembangkan kebijaksanaan, memberikan contoh moral melalui karakter, mengembangkan nilai sipil dan sensibilitas, sekaligus menyediakan kenikmatan untuk pembaca: (4) kontribusi pembaca (audience) pada komposisi karya, baik sebagai seni maupun komoditas; (5) kesadaran akan sejarah sastra dan perubahan bahasa dan genre.

Baca lebih lajut

Retorika Romawi: Panggung Masyarakat Kali Pertama

Dengan kata lain, filsafat dan retorika memiliki jalan yang berbeda ketika berhadapan dengan konsep kebenaran. Kebenaran retorik, meskipun harus didukung juga oleh filsafat dan ilmu pengetahuan, pada akhirnya tetap berada di tangan audiens sebagai hakim utamanya. Sementara audiens—atau saat ini bisa kita sebut sebagai masyarakat apresiator—yang memiliki kuasa besar untuk menilai kualitas orasi atau seorang orator juga tidak bisa terlepas dari konteks ruang dan waktunya. Maka kebenaran retorik itu pun bersifat kultural dan dengan demikian sangat relatif.

Baca lebih lajut

Tradisi Retorika Yunani: Kisah Bentuk Berbicara yang Abadi

Yang menarik dan harus dicatat, pada masa itu retorika masih digolongkan menjadi sebuah seni yang berdiri sendiri dan memiliki aturan-aturannya sendiri. Sebagai sebuah seni, para pengajarnya, atau yang disebut sophist, memberikan aturan-aturan penting seperti: pengaturan konten, pengaturan wicara-teks yang teratur, gaya (penggunaan bentuk kiasan atau metafora), kemudahan untuk diingat, dan cara penyampaian. Peran para sophist ini menjadi penting seiring dengan vitalnya retorika bagi legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, retorika menjadi instrumen untuk memberikan definisi kebenaran, kepribadian, dan moralitas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat oleh penguasa.

Baca lebih lajut
Pemuatan